Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 6
Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 6
Keluarga Heo mengadakan upacara pemakaman di gunung. Semua orang menangis.
Saat itulah Yang Myeong akhirnya tiba.
Yang Myeong hanya bisa melihat peti mati Yeon Woo dengan ekspresi terpukul. Ia berlutut lemah di tanah dan menangis.
Dae Hyeong kembali ke rumah.
"Tidak lama lagi kau akan segera masuk ke istana." ujar Dae Hyeong pada Bo Kyung. "Apa kau sudah menyiapkan mental?"
"Istana?" tanya Ibu Bo Kyung. "Maksudmu, Bo Kyung akan menjadi Putri Mahkota?"
"Apa dia sudah mati?" tanya Bo Kyung. "Apa kau membunuhnya?"
"Dia sudah meninggalkan dunia ini." jawab Dae Hyeong.
Bo Kyung masuk ke kamarnya dan mengambil gelang milik Yeon Woo yang dulu ia temukan.
"Kau ingin memenangkan hati Putra Mahkota, bukan?" Bo Kyung teringat ayahnya pernah bertanya. "Jadi mulai saat ini, lupakan semua rasa bersalah dan belas kasihanmu pada Yeon Woo. Ingatlah kemarahan dan rasa terhina ketika sesuatu dicuri darimu."
Bo Kyung menggenggam erat gelang itu.
Hwon masih terus menangis mengingat Yeon Woo.
"Semua ini salahku, bukan salahmu." Ia teringat Yeon Woo pernah berkata. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan menyalahkanmu."
Mendadak terdengar langkah kaki. Yang Myeong berjalan mendekati Hwon.
"Kakak, bagaimana kabar Guru Heo?" tanya Hwon. "Aku berharap melihat Putri Mahkota untuk terakhir kalinya. Apa kau melihatnya, Kak?"
"Kenapa kau ingin tahu?" tanya Yang Myeong tajam. Cahaya kemarahan terpancar di matanya. "Apa kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan, Putra Mahkota? Beraninya kau berharap untuk melihatnya!"
"Kakak..."
"Ketika ia diusir dari istana seperti seorang penjahat, apa yang kau lakukan?" tanya Yang Myeong. "Ketika ia menderita karena sakitnya, apa yang kau lakukan?"
"Tolong berhenti." ujar Hwon lemah.
"Ketika ia dikubur di tanah yang dingin, apa yang kau lakukan?" yang Myeong terus bicara sambil berlinang air mata. "Ketika orang tua dan kakaknya menangis, apa yang kau lakukan?"
"Kakak!" teriak Hwon.
"Bukankah kau yang memiliki segalanya, Putra Mahkota?!" teriak Yang Myeong. "Kasih sayang Yang Mulia. Hatiku yang tulus padamu sebagai kakak. Tidakkah kita sangat dekat seperti saudara kandung? Kau memiliki segalanya. Aku hanya menginginkan satu hal, tapi aku tetap saja aku tidak bisa memilikinya."
"Dia adalah satu-satunya bagiku." tangis Yang Myeong. "Dialah satu-satunya yang kuinginkan. Paling tidak satu hal. Aku hanya ingin satu hal. Tapi kau tidak mau memberikannya untukku? Jika aku jadi kau, aku akan melindunginya dengan segala yang kumiliki walaupun aku harus mempertaruhkan hidupku."
Hwon sangat terpukul.
"Kau tidak melindunginya dengan baik." lanjut Yang Myeong.
Yang Myeong berjalan pergi.
"Di kehidupan selanjutnya, ia akan menjadi milikku." tekad Yang Myeong dalam hati. "Di kehidupan selanjutnya, akulah orang yang akan melindunginya."
Ibu Suri sangat senang dengan kematian Yeon Woo.
Nok Young meminta izin Ibu Suri agar ia bisa meninggalkan Balai Samawi selama beberapa lama.
"Aku telah menggunakan sihir untuk membunuh seseorang." ujar Nok Young menjelaskan. "Bagi kami ini adalah hal yang tabu. Dengan sihir ini, tubuh dan jiwaku terluka cukup parah. Aku ingin pergi selama beberapa waktu ke gunung untuk menstabilkan tubuh dan jiwaku."
"Kau akan kembali, bukan?" tanya Ibu Suri.
"Aku akan kembali." jawab Nok Young.
Malam itu, Nok Young dan Young Jae pergi ke makam Yeon Woo.
Young Jae menggali kembali makam tersebut.
Dari dalam peti, Yeon Woo membuka matanya. Ia mengedor-gedor peti karena kesulitan bernapas.
"Cepatlah! Matahari akan segera terbit!" seru Nok Young pada Young Jae.
Mendadak, seseorang datang dari belakang mereka.
Nok Young terkejut.
Rupanya orang itu adalah Seol.
Keadaan Seol sangat mengenaskan seperti habis dipukuli habis-habisan.
Yeon Woo membuka matanya dan terbangun dengan kaget.
Ia melihat seorang anak di sampingnya.
"Siapa kau?" tanya Yeon Woo.
"Aku Jan Shil." jawab anak itu.
"Jan Shil?" gumam Yeon Woo, berpikir.
Jan Shil langsung berlari keluar dan memanggil seseorang.
Seol masuk ke dalam kamar.
"Nona!" serunya lega. "Nona, kau sudah sadar?"
Yeon Woo hanya diam, memandang Seol dengan bingung.
Nok Young masuk ke dalam ruangan.
"Siapa kau?" tanya Yeon Woo padanya. Ia berpaling pada Seol. "Siapa kau?"
Nok Young dan Seol terkejut.
"Tempat apa ini?" tanya Yeon Woo lagi. "Dan... siapa aku?"
"Nona, kau adalah seorang shaman." ujar Nok Young pada Yeon Woo. "Kau pingsan ketika sedang melakukan upacara ritual. Kau baru saja bangun hari ini. Tapi karena sihirnya terlalu kuat, maka kau kehilangan ingatanmu. Mulai saat ini, aku akan menjadi pendampingmu..."
"Keluargaku." potong Yeon Woo. "Dimana keluargaku?"
"Aku tidak tahu." jawab Nok Young, berbohong. "Aku melihatmu berada di jalanan seorang diri. Kau memiliki aura cahaya yang luar biasa, jadi aku membawamu bersamaku."
"Apa aku dicampakkan?" tanya Yeon Woo. "Apa keluargaku membuangku karena aku memiliki kekuatan sihir?"
"Kau sudah menjadi seorang shaman, jadi lebih baik lupakan masa lalumu."
Yeon Woo menangis, kemudian mengangguk.
Di istana, Hwon berpapasan dengan Dae Hyeong.
"Anda pasti sangat khawatir mengenai kejadian yang menimpa akhir-akhir ini." ujar Dae Hyeong.
"Kekhwatiran apa?" tanya Hwon santai.
"Hamba bersalah karena tidak melakukan pemilihan Putri Mahkota dengan benar." jawab Dae Hyeong.
Hwon tersenyum. "Langitlah yang menentukan kelahiran, menjadi tua dan sakit." jawabnya. "Apa yang bisa dilakukan oleh manusia?"
"Hamba tidak punya tempat untuk pergi."
Hwon tertawa keras. "Di dunia bagian mana seorang Yoon Dae Hyeong tidak diterima?" tanyanya sinis. "Jika seseorang merasa ingin mencari tempat yang pantas bagi dirinya sendiri, walaupun ia harus menjatuhkan seorang penunggang kuda ia pasti akan melakukannya."
Dae Hyeong hanya diam mendengar sindiran Hwon.
Young Jae sangat sedih dengan keadaan yang menimpa putrinya. Ia sangat merindukan Yeon Woo. Ia melihat seakan-akan Yeon Woo sedang berada di halaman dan membaca buku. Namun sayang semua itu hanyalah ilusi.
Yeom kembali ke rumah.
Young Jae berpesan padanya. "Walaupun Putra Mahkota berjarak ratusan mil darimu, janganlah lupa kalau kau adalah orang kepercayaan Putra Mahkota. Suatu saat nanti, kau akan mendampingi Putra Mahkota."
"Aku akan mengingat itu." ujar Yeom.
Di lain sisi, ibu Yeon Woo seperti orang stress mendekati gila. Ia menyuapi seorang gadis terus-menerus, yang ia kira adalah Yeon Woo.
"Yeon Woo sudah meninggal." kata Young Jae.
Ibu Yeon Woo langsung menangis keras. "Yeon Woo!"
Keesokkan harinya, Nok Young, Yeon Woo, Seol dan Jan Shil berniat pergi dengan menggunakan kapal.
Yeon Woo melihat Seol tajam. "Kenapa kau memanggilku Nona?" tanyanya.
Seol bingung menjawabnya. "Itu karena..."
"Itu karena kau adalah bulan." jawab Jan Shil polos.
"Karena kau mengabdi pada dewa yang agung, jadi orang-orang memanggilmu Nona." kata Nok Young memotong pembicaraan.
"Aku adalah seorang shaman, bukan?" gumam Yeon Woo.
Mendadak Seol menangis.
"Kau kenapa?" tanya Yeon Woo. "Jangan menangis."
Nok Young juga memandang Yeon Woo dari belakang dengan sedih. "Suatu saat nanti, apakah kau akan kembali ke posisimu yang semula atau tetap hidup menjadi shaman?" tanyanya dalam hati. "Itu adalah pilihanmu sendiri."
Bo Kyung didandani untuk menjalani upacara pernikahan sekaligus pengangkatannya sebagai Putri Mahkota.
Ia kelihatan sangat senang.
"Kau harus optimis." pesan ibunya pada Bo Kyung. "Jangan biarkan orang lain melihat kelemahanmu. Tidak ada yang boleh merebut posisimu."
Bo Kyung mengulangi setiap pesan yang diucapkan oleh ibunya.
Hwon menjalani upacara dengan setengah hati.
Di lain sisi, Min Hwa tidur di ranjangnya dengan wajah ketakutan dan tubuh gemetaran.
"Jangan khawatir, Putri." Min Hwa teringat ucapan ibu suri. "Sebentar lagi, kau akan memperoleh apa yang kau inginkan."
Menatap rintikan air hujan membuat Yang Myeong sedih. Ia terus mengingat Yeon Woo dalam benaknya.
Gerimis turun saat Hwon sedang menjalankan upacara pernikahan.
Hwon menatap tetesan air hujan dengan mata berkaca-kaca.
"Namamu adalah Yeon Woo. Apakah artinya dalah gerimis?" Hwon mengingat percakapannya dengan Yeon Woo tempo hari. "Itu juga bisa diartikan embun. Nama yang sangat indah.
Hwon tersenyum pahit.
Bo Kyung melihat Hwon. Ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan oleh Hwon.
Beberapa tahun telah berlalu.
Hwon dewasa memandang tetesan air hujan terakhir yang jatuh membasahi bumi. Gerimis telah berhenti.
"Yang Mulia, apakah Anda mau teh hangat?" Kasim Hyeon Sun menawarkan teh dan berbagai macam pelayanan untuk Hwon.
Hwon menoleh. "Kenapa kau selalu saja cerewet?" tanyanya.
Hwon kemudian memerintahkan kasim untuk memanggil para menteri keluar untuk bermain golf.
Hwon memukul bola golf.
Seorang menteri bertepuk tangan dengan keceriaan dibuat-buat.
"Pukulan bagus!" seru si menteri. "Yang Mulia semakin hebat hari demi hari, menembus langit!"
Hwon tersenyum dan menjawab sinis, "Sanjungan menteri-lah yang menembus langit."
Si Menteri langsung diam.
Hwon hendak memukul bola golf lagi. Namun mendadak ia berhenti dan memegang dadanya.
Kelihatannya para menteri merasakan sesuatu.
Hwon bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ia memukul bola, namun gagal masuk.
Hwon memerintahkan seorang menterinya untuk memukul bola dan ternyata masuk.
"Kau sangat hebat." puji Hwon. "Kau sangat sibuk dalam pekerjaanmu, bagaimana bisa kau bisa demikian hebat?" Itu adalah sindiran.
"Aku hanya beruntung." jawab Menteri. "Lubang disini sedikit lebih besar dibanding di tempat lain."
Hwon tertawa terbahak-bahak.
"Jadi, kau pasti tahu dimana tempat di istana ini yang lubangnya paling besar." kata Hwon santai.
"Bagaimana mungkin aku tahu." jawab si Menteri.
"Kalau begitu," ujar Hwon, ekspresinya langsung berubah tegas. "Aku akan mengajakmu kesana."
Hwon mengajak para menteri ke perpustakaan.
Disana, ia mengambil satu buah peti yang berdebu.
"Yang Mulia, tolong jangan lakukan ini." protes Menteri.
"Ratusan orang dipaksa melakukan kerja rodi." ujar Hwon, membaca sebuah perkamen. "Pakaian dan makanan sangat sulit. Sejak musim dingin bulan ke 12, kulit anjing digunakan untuk bertahan hidup. Jika tidak bisa membayar pajak, anak gadis akan dijadikan selir. Saat ini ia sudah memiliki 20 orang selir. Wah! Jauh lebih banyak dibanding Raja!"
Hwon membaca satu per satu perkamen tersebut. Perkamen-perkamen itu adalah laporan mengenai masalah yang diakibatkan oleh tindakan para menteri.
"Semua laporan ini bisa membuat orang yang membacanya menjadi sedih dan meneteskan air mata." ujar Hwon seraya memandang tajam pada para menterinya. "TAPI, kenapa tidak ada satupun yang jatuh ke tanganku!"
"Sebenarnya kami ingin menyerahkannya nanti." seorang menteri memberi alasan.
"Kalian tidak lihat tanggal berapa laporan itu dibuat!" seru Hwon. "Sudah beberapa bulan berlalu!"
"Laporan itu terlalu sepele..."
"Siapa kau hingga berhak memutuskan apakah laporan ini sepele atau tidak?!" tanya Hwon tajam. "Kau membuat penilaian itu tanpa melihat penderitaan rakyat! Sekarang kalian tahu! Ini adalah lubang terbesar di istana! Para pejabat dan politiknya yang menghalangi komunikasi antara aku dan rakyatku adalah lubang terbesar!"
Hwon berjalan pergi dengan kemarahan memuncak.
"Dia sudah sangat dewasa." komentar menteri.
"Aku dengar kabar kalau ia sakit." ujar menteri yang lain. "Tapi kelihatannya berita itu salah. Melihat kondisinya hari ini, ia kelihatan sangat sehat."
"Kurasa ia hanya menggunakan alasan sakit agar tidak perlu masuk ke kamar Ratu." komentar yang lain.
Dae Hyeong langsung menatap menteri itu dengan sinis.
"Itu bukan alasan." ujar menteri yang lain. "Walaupun ia bisa menutupi dengan baik, namun kelelahan dimatanya tidak bisa disembunyikan."
Para menteri kemudian merencanakan sesuatu yang jahat.
Karena Raja tidak juga mau melakukan hubungan suami-istri dengan Ratu, banyak pihak yang menyarankan agar Raja mencari selir. Hal ini tentu membuat Ibu Suri kesal.
"Petisi agar Raja mencari selir belum juga berakhir?" tanya Ibu Suri.
"Kami sudah berusaha keras agar hal ini tidak tersebar." ujar Dae Hyeong. "Jadi kabar ini belum mencapai istana. Namun cepat atau lambat, Raja pasti akan mendengar."
"Ini tidak boleh terjadi!" seru Ibu Suri. "Satu-satunya orang yang harus menghasilkan penerus Raja adalah Ratu."
"Namun ia terus-menerus menolak ke kamar Ratu dengan mengatakan bahwa ia sedang kurang sehat." ujar Dae Hyeong. "Jika terus seperti ini, Ratu tidak akan bisa menghasilkan penerus."
Dae Hyeong menyarankan pada Ibu Suri agar membiarkan Raja pergi keluar istana selama beberapa saat untuk memulihkan kesehatannya.
Sementara Raja pergi, Dae Hyeong-lah yang akan mengambil alih pekerjaan Raja.
Dae Hyeong menyarankan agar Raja beristirahat sementara waktu.
"Kau memang mencemaskan kesehatanku atau kau cemas apakah aku masih hidup atau sudah mati?" tanya Hwon tajam.
"Tolong jangan berkata seperti itu." kata Dae Hyeong.
"Kalau begitu, apakah kau mau pergi bersamaku?" tanya Hwon. Karena Dae Hyeong hanya diam, Hwon melanjutkan dengan sindiran. "Ah, aku lupa! Jika aku tidak ada, kaulah orang yang akan mengambil alih segalanya di istana. Ini adalah peluang yang bagus untuk mengetahui semua permasalahan negara. Karena itulah, aku lebih memilih tinggal di istana dan tidak pergi. Apakah ada kata-kataku yang salah, Menteri?"
Tidak lama kemudian, kasim masuk ke ruangan dan mengatakan kalau Ibu Suri ingin bertemu.
Hwon langsung mengeluh. "Ah, banyak sekali orang yang ingin bertemu denganku hari ini." ujarnya seraya memandang tajam pada Dae Hyeong. "Aku yakin nenek akan mengatakan hal yang sama denganmu."
Dalam perjalanan ke paviliun Ibu Suri, Hwon berpapasan dengan Ratunya. Hwon kelihatan sangat tidak suka.
Bo Kyung sangat senang melihat Hwon. "Anda datang, Yang Mulia." sapanya ramah.
Tanpa mengatakan apa-apa, Hwon berjalan pergi.
Bo Kyung menarik napas untuk meredakan emosinya, kemudian tersenyum lagi.
Sesuai perkiraan, Ibu Suri mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Dae Hyeong.
Hwon menolak dengan alasan tidak bisa meninggalkan pekerjaan kenegaraannya dan kesehatannya cukup baik.
"Lalu kenapa kau belum juga memiliki penerus?" tanya Ibu Suri.
Hwon diam.
Bo Kyung meminta maaf. "Ini semua salahku." katanya. "Aku tidak bisa melayani Yang Mulia dengan baik."
"Kau wanita yang malang." ujar Ibu Suri.
Hwon terus menolak untuk pergi,
"Jika kau tidak menuruti keinginanku, maka aku takut kalau aku tidak punya pilihan lain." ancam bu Suri. "Dayang Park! Mulai saat ini, aku tidak mau makan apapun. Jika Yang Mulia tidak menghormati permintaan neneknya yang sudah tua, aku tidak akan mau hidup lagi."
Hwon hanya diam.
Ibu Suri (ibu Hwon) berusaha membujuk Hwon agar pergi, namun Hwon tetap menolak.
Bo Kyung berlutut di depan paviliun Ibu Suri.
"Tolong jangan marah seperti ini, Yang Mulia." seru Bo Kyung pada ibu Suri. "Semua ini adalah salahku karena aku tidak bisa melayani Yang Mulia dengan baik."
Bo Kyung terus berteriak dan menangis menyalahkan dirinya sendiri.
Hwon, yang mengetahui tindakan Bo Kyung dari kasim, langsung datang menghampiri.
"Bangun, Ratu." perintah Hwon. "Udara sangat dingin, jadi tolong bangunlah."
Bo Kyung menggeleng. "Aku akan tetap berlutut sampai Ibu Suri bersedia makan lagi." katanya.
"Aku akan meminta Ib uSuri mengakhiri semua ini." kata Hwon. "Aku tidak akan membiarkan beliau kelaparan. Jadi lebih baik kau bangun."
Akhirnya Bo Kyung bangkit. Ketika hendak bangkit, tidak sengaja ia hampir terjatuh.
Hwon menahan tubuhnya.
"Kau memiliki Ibu Suri di dalam istana dan ayahmu di luar istana." ujar Hwon pelan. "Kau sangat beruntung memiliki pendukung seperti itu."
Bo Kyung hendak melepaskan diri dari Hwon, namun Hwon mempererat pegangannya.
"Kau masih ingat apa yang pernah kukatakan saat pernikahan kita?" tanya Hwon. "Jika kau lupa, aku akan mengingatkan."
Hwon mendekatkan wajahnya ke telinga Bo Kyung. "Kau dan keluargamu mungkin akan mendapatkan apa yang kalian inginkan, tapi jangan harap kalian akan mendapatkan hatiku juga. Karena kalian tidak akan pernah mendapatkannya."
Bo Kyung meneteskan air mata.
Hwon berjalan pergi.
Bo Kyung masuk ke kamarnya dengan langkah terhentak-hentak karena marah. Seluruh tubuhnya gemetar.
"Apakah kau masih belum bisa melupakannya?" tanya Bo Kyung dalam hati. "Dia sudah lama mati. Ratu istana ini bukan dia, tapi aku!"
Dayang masuk dan mengatakan kalau Min Hwa datang.
Setelah Min Hwa masuk ke dalam ruangan, wajah Bo Kyung berubah drastis menjadi manis dan ramah.
Min Hwa datang karena diperintahkan ibunya untuk menghibur Bo Kyung.
"Kudengar kau memohon maaf." ujar Min Hwa.
"Aku tidak punya keyakinan dalam melayani Yang Mulia sehingga tidak bisa menghasilkan penerus." ujar Bo Kyung.
"Kurasa bukan karena tidak ada keyakinan." ujar Min Hwa polos. "Itu karena diantara kau dan kakak tidak ada cinta. Kakak tidak pernah ke ruanganmu karena kakak tidak menyukai..."
Bo Kyung langsung memotong ucapan Min Hwa dengan membicarakan hal lain.
Min Hwa pulang ke rumahnya.
Ia dan Yeom kini sudah menikah.
Min Hwa mengira Yeom sedang tidur di kamar, namun rupanya orang itu bukan Yeom melainkan Yang Myeong.
Min Hwa ngambek. Ia keluar dari kamar dan melempat sepatu Yang Myeong ke atas genteng.
"Kenapa setiap kemari, kau selalu membuat adikmu marah?" tanya Yeom.
"Dia menyebalkan." kata Yang Myeong. "Dia memaksamu menjadi suaminya. Ketika almarhum Raja sebelumnya masih hidup, ia ingin kau mendampingi Raja saat ini. Tapi kenapa mereka malah mencekal orang berbakat sepertimu? Aku marah pada almarhum Raja, Yang Mulia dan Putri Min Hwa."
"Jangan berkata seperti itu." ujar Yeom. "Putri adalah penyelamat keluargaku. Anggota keluargaku tidak dibunuh dan masih bisa hidup sempai sekarang adalah berkat Putri."
"Dia mengubur bakat dan ambisimu." ujar Yang Myeong kesal.
Yang Myeong dan Yeom keluar dari ruangan.
Setelah sadar sepatunya hilang, ia mengeluarkan sepatu cadangan dari balik jubahnya.
"Kesehatan Yang Mulia tidak juga membaik." kata Yeom.
Yang Myeong terlihat sedih. Ia kemudian menoleh melihat ke arah kamar Yeon Woo dulu.
"Jangan melihat lagi." ujar Yeom.
"Jika ia masih hidup, seperti apakah wajahnya?" tanya Yang Myeong. "Di dalam benakku, adikmu tetap berumur 13 tahun."
Yang Myeong berjalan seorang diri.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Yeon Woo kecil, ilusi Yang Myeong.
"Aku sedang memikirkanmu." jawab Yang Myeong.
"Kenapa kau tidak kembali saja ke istana?"
"Apa ia memintamu mengatakan ini padaku?" tanya Yang Myeong.
"Tidak." jawab Yeon Woo. "Aku hanya merasa kalau ia sedang menunggumu."
"Siapa yang menungguku?"
"Yang Mulia." jawab Yeon Woo.
"Setelah aku membuatnya terluka, kenapa ia masih mau menungguku?" tanya Yang Myeong.
"Ia menunggumu." ulang Yeon Woo.
"Semua yang kau bicarakan selalu tentang dia." protes Yang Myeong.
"Ia tidak bisa berbagi pikiran dengan orang lain disana." kata Yeon Woo sedih. "Ia pasti merasa kesepian."
"Bukankah ia memiliki Woon di sisinya?" tanya Yang Myeong.
"Pangeran Yang Myeong, tolong lindungi dia." pinta Yeon Woo. "Kuharap Pangeran Yang Myeong bisa melindunginya."
Yeon Woo menghilang.
Yang Myeong terdiam sejenak. Ia kemudian melihat tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada kumpulan orang.
"Pangeran Yang Myeong!" seru seseorang.
Yang Myeong melarikan diri. Orang-orang itu mengejarnya.
Yang Myeong bersembunyi sehingga ia bisa lolos dari kejaran.
"Apa kau puas sekarang?" tanya Yang Myeong dalam hati. "Dengan cara inilah aku melindungi Yang Mulia."
Malam itu, lagi-lagi Hwon tidak bisa tidur nyenyak. Ia bermimpi buruk mengenai masa lalunya. Terngiang-ngiang semua perkataan Yeon Woo, Ibu Suri dan Yang Myeong. Ia merasa kalau kematian Yeon Woo adalah karena kesalahannya.
"Apakah mimpi yang sama?" tanya Woon ketika melihat Hwon terbangun.
Hwon mengajak Woon berbincang di luar.
"Woon, apa kau tahu kenapa halaman ini disebut Paviliun Bulan Tersembunyi?" tanya Hwon. "Ketika ayah pertama kali membangun tempat ini, bulan yang ada di kolam kelihatan indah, jadi ia ingin memiliki bulan itu selamanya. Jadi ketika bulan tidak muncul di langit, ia masih bisa melihat bulan. Itulah arti sebenarnya dari Paviliun Bulan Tersembunyi."
"Hamba akan mengingat hal itu." ujar Woon.
"Aku juga diam-diam menyembunyikan bulan disini." lanjut Hwon. "Ketika bulan di langit tidak ada, aku tetap bisa melihat bulan. Walaupun matahari dan bulan tidak bisa berada di langit pada saat yang sama, namun paling tidak mereka masih bisa bersama di dalam kolam itu."
Nok Young sedang berdoa di bukit. Mendadak Jan Shil datang dengan membawa surat.
Nok Young membaca surat tersebut. Surat itu berisikan perintah agar ia kembali.
Nok Young berjalan bersama tiga orang gadis di darmaga. Satu gadis adalah Jan Shil, satu orang lagi adalah gadis yang berpakaian seperti lelaki (Seol) dan yang satunya lagi adalah seorang gadis yang kepalanya tertutupi tudung.
"Kami harus pergi sekarang." ujar Nok Young.
Gadis bertudung membuka jubahnya... Bahkan melihat jenazah Yeon Woo saja ia tidak bisa.
Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 7
anda sedang membaca artikel Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 6 ini dengan url http://anekabaca.blogspot.com/2012/02/sinopsis-moon-that-embraces-sun-episode_2810.html
Keluarga Heo mengadakan upacara pemakaman di gunung. Semua orang menangis.
Saat itulah Yang Myeong akhirnya tiba.
Yang Myeong hanya bisa melihat peti mati Yeon Woo dengan ekspresi terpukul. Ia berlutut lemah di tanah dan menangis.
Dae Hyeong kembali ke rumah.
"Tidak lama lagi kau akan segera masuk ke istana." ujar Dae Hyeong pada Bo Kyung. "Apa kau sudah menyiapkan mental?"
"Istana?" tanya Ibu Bo Kyung. "Maksudmu, Bo Kyung akan menjadi Putri Mahkota?"
"Apa dia sudah mati?" tanya Bo Kyung. "Apa kau membunuhnya?"
"Dia sudah meninggalkan dunia ini." jawab Dae Hyeong.
Bo Kyung masuk ke kamarnya dan mengambil gelang milik Yeon Woo yang dulu ia temukan.
"Kau ingin memenangkan hati Putra Mahkota, bukan?" Bo Kyung teringat ayahnya pernah bertanya. "Jadi mulai saat ini, lupakan semua rasa bersalah dan belas kasihanmu pada Yeon Woo. Ingatlah kemarahan dan rasa terhina ketika sesuatu dicuri darimu."
Bo Kyung menggenggam erat gelang itu.
Hwon masih terus menangis mengingat Yeon Woo.
"Semua ini salahku, bukan salahmu." Ia teringat Yeon Woo pernah berkata. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan menyalahkanmu."
Mendadak terdengar langkah kaki. Yang Myeong berjalan mendekati Hwon.
"Kakak, bagaimana kabar Guru Heo?" tanya Hwon. "Aku berharap melihat Putri Mahkota untuk terakhir kalinya. Apa kau melihatnya, Kak?"
"Kenapa kau ingin tahu?" tanya Yang Myeong tajam. Cahaya kemarahan terpancar di matanya. "Apa kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan, Putra Mahkota? Beraninya kau berharap untuk melihatnya!"
"Kakak..."
"Ketika ia diusir dari istana seperti seorang penjahat, apa yang kau lakukan?" tanya Yang Myeong. "Ketika ia menderita karena sakitnya, apa yang kau lakukan?"
"Tolong berhenti." ujar Hwon lemah.
"Ketika ia dikubur di tanah yang dingin, apa yang kau lakukan?" yang Myeong terus bicara sambil berlinang air mata. "Ketika orang tua dan kakaknya menangis, apa yang kau lakukan?"
"Kakak!" teriak Hwon.
"Bukankah kau yang memiliki segalanya, Putra Mahkota?!" teriak Yang Myeong. "Kasih sayang Yang Mulia. Hatiku yang tulus padamu sebagai kakak. Tidakkah kita sangat dekat seperti saudara kandung? Kau memiliki segalanya. Aku hanya menginginkan satu hal, tapi aku tetap saja aku tidak bisa memilikinya."
"Dia adalah satu-satunya bagiku." tangis Yang Myeong. "Dialah satu-satunya yang kuinginkan. Paling tidak satu hal. Aku hanya ingin satu hal. Tapi kau tidak mau memberikannya untukku? Jika aku jadi kau, aku akan melindunginya dengan segala yang kumiliki walaupun aku harus mempertaruhkan hidupku."
Hwon sangat terpukul.
"Kau tidak melindunginya dengan baik." lanjut Yang Myeong.
Yang Myeong berjalan pergi.
"Di kehidupan selanjutnya, ia akan menjadi milikku." tekad Yang Myeong dalam hati. "Di kehidupan selanjutnya, akulah orang yang akan melindunginya."
Ibu Suri sangat senang dengan kematian Yeon Woo.
Nok Young meminta izin Ibu Suri agar ia bisa meninggalkan Balai Samawi selama beberapa lama.
"Aku telah menggunakan sihir untuk membunuh seseorang." ujar Nok Young menjelaskan. "Bagi kami ini adalah hal yang tabu. Dengan sihir ini, tubuh dan jiwaku terluka cukup parah. Aku ingin pergi selama beberapa waktu ke gunung untuk menstabilkan tubuh dan jiwaku."
"Kau akan kembali, bukan?" tanya Ibu Suri.
"Aku akan kembali." jawab Nok Young.
Malam itu, Nok Young dan Young Jae pergi ke makam Yeon Woo.
Young Jae menggali kembali makam tersebut.
Dari dalam peti, Yeon Woo membuka matanya. Ia mengedor-gedor peti karena kesulitan bernapas.
"Cepatlah! Matahari akan segera terbit!" seru Nok Young pada Young Jae.
Mendadak, seseorang datang dari belakang mereka.
Nok Young terkejut.
Rupanya orang itu adalah Seol.
Keadaan Seol sangat mengenaskan seperti habis dipukuli habis-habisan.
Yeon Woo membuka matanya dan terbangun dengan kaget.
Ia melihat seorang anak di sampingnya.
"Siapa kau?" tanya Yeon Woo.
"Aku Jan Shil." jawab anak itu.
"Jan Shil?" gumam Yeon Woo, berpikir.
Jan Shil langsung berlari keluar dan memanggil seseorang.
Seol masuk ke dalam kamar.
"Nona!" serunya lega. "Nona, kau sudah sadar?"
Yeon Woo hanya diam, memandang Seol dengan bingung.
Nok Young masuk ke dalam ruangan.
"Siapa kau?" tanya Yeon Woo padanya. Ia berpaling pada Seol. "Siapa kau?"
Nok Young dan Seol terkejut.
"Tempat apa ini?" tanya Yeon Woo lagi. "Dan... siapa aku?"
"Nona, kau adalah seorang shaman." ujar Nok Young pada Yeon Woo. "Kau pingsan ketika sedang melakukan upacara ritual. Kau baru saja bangun hari ini. Tapi karena sihirnya terlalu kuat, maka kau kehilangan ingatanmu. Mulai saat ini, aku akan menjadi pendampingmu..."
"Keluargaku." potong Yeon Woo. "Dimana keluargaku?"
"Aku tidak tahu." jawab Nok Young, berbohong. "Aku melihatmu berada di jalanan seorang diri. Kau memiliki aura cahaya yang luar biasa, jadi aku membawamu bersamaku."
"Apa aku dicampakkan?" tanya Yeon Woo. "Apa keluargaku membuangku karena aku memiliki kekuatan sihir?"
"Kau sudah menjadi seorang shaman, jadi lebih baik lupakan masa lalumu."
Yeon Woo menangis, kemudian mengangguk.
Di istana, Hwon berpapasan dengan Dae Hyeong.
"Anda pasti sangat khawatir mengenai kejadian yang menimpa akhir-akhir ini." ujar Dae Hyeong.
"Kekhwatiran apa?" tanya Hwon santai.
"Hamba bersalah karena tidak melakukan pemilihan Putri Mahkota dengan benar." jawab Dae Hyeong.
Hwon tersenyum. "Langitlah yang menentukan kelahiran, menjadi tua dan sakit." jawabnya. "Apa yang bisa dilakukan oleh manusia?"
"Hamba tidak punya tempat untuk pergi."
Hwon tertawa keras. "Di dunia bagian mana seorang Yoon Dae Hyeong tidak diterima?" tanyanya sinis. "Jika seseorang merasa ingin mencari tempat yang pantas bagi dirinya sendiri, walaupun ia harus menjatuhkan seorang penunggang kuda ia pasti akan melakukannya."
Dae Hyeong hanya diam mendengar sindiran Hwon.
Young Jae sangat sedih dengan keadaan yang menimpa putrinya. Ia sangat merindukan Yeon Woo. Ia melihat seakan-akan Yeon Woo sedang berada di halaman dan membaca buku. Namun sayang semua itu hanyalah ilusi.
Yeom kembali ke rumah.
Young Jae berpesan padanya. "Walaupun Putra Mahkota berjarak ratusan mil darimu, janganlah lupa kalau kau adalah orang kepercayaan Putra Mahkota. Suatu saat nanti, kau akan mendampingi Putra Mahkota."
"Aku akan mengingat itu." ujar Yeom.
Di lain sisi, ibu Yeon Woo seperti orang stress mendekati gila. Ia menyuapi seorang gadis terus-menerus, yang ia kira adalah Yeon Woo.
"Yeon Woo sudah meninggal." kata Young Jae.
Ibu Yeon Woo langsung menangis keras. "Yeon Woo!"
Keesokkan harinya, Nok Young, Yeon Woo, Seol dan Jan Shil berniat pergi dengan menggunakan kapal.
Yeon Woo melihat Seol tajam. "Kenapa kau memanggilku Nona?" tanyanya.
Seol bingung menjawabnya. "Itu karena..."
"Itu karena kau adalah bulan." jawab Jan Shil polos.
"Karena kau mengabdi pada dewa yang agung, jadi orang-orang memanggilmu Nona." kata Nok Young memotong pembicaraan.
"Aku adalah seorang shaman, bukan?" gumam Yeon Woo.
Mendadak Seol menangis.
"Kau kenapa?" tanya Yeon Woo. "Jangan menangis."
Nok Young juga memandang Yeon Woo dari belakang dengan sedih. "Suatu saat nanti, apakah kau akan kembali ke posisimu yang semula atau tetap hidup menjadi shaman?" tanyanya dalam hati. "Itu adalah pilihanmu sendiri."
Bo Kyung didandani untuk menjalani upacara pernikahan sekaligus pengangkatannya sebagai Putri Mahkota.
Ia kelihatan sangat senang.
"Kau harus optimis." pesan ibunya pada Bo Kyung. "Jangan biarkan orang lain melihat kelemahanmu. Tidak ada yang boleh merebut posisimu."
Bo Kyung mengulangi setiap pesan yang diucapkan oleh ibunya.
Hwon menjalani upacara dengan setengah hati.
Di lain sisi, Min Hwa tidur di ranjangnya dengan wajah ketakutan dan tubuh gemetaran.
"Jangan khawatir, Putri." Min Hwa teringat ucapan ibu suri. "Sebentar lagi, kau akan memperoleh apa yang kau inginkan."
Menatap rintikan air hujan membuat Yang Myeong sedih. Ia terus mengingat Yeon Woo dalam benaknya.
Gerimis turun saat Hwon sedang menjalankan upacara pernikahan.
Hwon menatap tetesan air hujan dengan mata berkaca-kaca.
"Namamu adalah Yeon Woo. Apakah artinya dalah gerimis?" Hwon mengingat percakapannya dengan Yeon Woo tempo hari. "Itu juga bisa diartikan embun. Nama yang sangat indah.
Hwon tersenyum pahit.
Bo Kyung melihat Hwon. Ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan oleh Hwon.
Beberapa tahun telah berlalu.
Hwon dewasa memandang tetesan air hujan terakhir yang jatuh membasahi bumi. Gerimis telah berhenti.
"Yang Mulia, apakah Anda mau teh hangat?" Kasim Hyeon Sun menawarkan teh dan berbagai macam pelayanan untuk Hwon.
Hwon menoleh. "Kenapa kau selalu saja cerewet?" tanyanya.
Hwon kemudian memerintahkan kasim untuk memanggil para menteri keluar untuk bermain golf.
Hwon memukul bola golf.
Seorang menteri bertepuk tangan dengan keceriaan dibuat-buat.
"Pukulan bagus!" seru si menteri. "Yang Mulia semakin hebat hari demi hari, menembus langit!"
Hwon tersenyum dan menjawab sinis, "Sanjungan menteri-lah yang menembus langit."
Si Menteri langsung diam.
Hwon hendak memukul bola golf lagi. Namun mendadak ia berhenti dan memegang dadanya.
Kelihatannya para menteri merasakan sesuatu.
Hwon bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ia memukul bola, namun gagal masuk.
Hwon memerintahkan seorang menterinya untuk memukul bola dan ternyata masuk.
"Kau sangat hebat." puji Hwon. "Kau sangat sibuk dalam pekerjaanmu, bagaimana bisa kau bisa demikian hebat?" Itu adalah sindiran.
"Aku hanya beruntung." jawab Menteri. "Lubang disini sedikit lebih besar dibanding di tempat lain."
Hwon tertawa terbahak-bahak.
"Jadi, kau pasti tahu dimana tempat di istana ini yang lubangnya paling besar." kata Hwon santai.
"Bagaimana mungkin aku tahu." jawab si Menteri.
"Kalau begitu," ujar Hwon, ekspresinya langsung berubah tegas. "Aku akan mengajakmu kesana."
Hwon mengajak para menteri ke perpustakaan.
Disana, ia mengambil satu buah peti yang berdebu.
"Yang Mulia, tolong jangan lakukan ini." protes Menteri.
"Ratusan orang dipaksa melakukan kerja rodi." ujar Hwon, membaca sebuah perkamen. "Pakaian dan makanan sangat sulit. Sejak musim dingin bulan ke 12, kulit anjing digunakan untuk bertahan hidup. Jika tidak bisa membayar pajak, anak gadis akan dijadikan selir. Saat ini ia sudah memiliki 20 orang selir. Wah! Jauh lebih banyak dibanding Raja!"
Hwon membaca satu per satu perkamen tersebut. Perkamen-perkamen itu adalah laporan mengenai masalah yang diakibatkan oleh tindakan para menteri.
"Semua laporan ini bisa membuat orang yang membacanya menjadi sedih dan meneteskan air mata." ujar Hwon seraya memandang tajam pada para menterinya. "TAPI, kenapa tidak ada satupun yang jatuh ke tanganku!"
"Sebenarnya kami ingin menyerahkannya nanti." seorang menteri memberi alasan.
"Kalian tidak lihat tanggal berapa laporan itu dibuat!" seru Hwon. "Sudah beberapa bulan berlalu!"
"Laporan itu terlalu sepele..."
"Siapa kau hingga berhak memutuskan apakah laporan ini sepele atau tidak?!" tanya Hwon tajam. "Kau membuat penilaian itu tanpa melihat penderitaan rakyat! Sekarang kalian tahu! Ini adalah lubang terbesar di istana! Para pejabat dan politiknya yang menghalangi komunikasi antara aku dan rakyatku adalah lubang terbesar!"
Hwon berjalan pergi dengan kemarahan memuncak.
"Dia sudah sangat dewasa." komentar menteri.
"Aku dengar kabar kalau ia sakit." ujar menteri yang lain. "Tapi kelihatannya berita itu salah. Melihat kondisinya hari ini, ia kelihatan sangat sehat."
"Kurasa ia hanya menggunakan alasan sakit agar tidak perlu masuk ke kamar Ratu." komentar yang lain.
Dae Hyeong langsung menatap menteri itu dengan sinis.
"Itu bukan alasan." ujar menteri yang lain. "Walaupun ia bisa menutupi dengan baik, namun kelelahan dimatanya tidak bisa disembunyikan."
Para menteri kemudian merencanakan sesuatu yang jahat.
Karena Raja tidak juga mau melakukan hubungan suami-istri dengan Ratu, banyak pihak yang menyarankan agar Raja mencari selir. Hal ini tentu membuat Ibu Suri kesal.
"Petisi agar Raja mencari selir belum juga berakhir?" tanya Ibu Suri.
"Kami sudah berusaha keras agar hal ini tidak tersebar." ujar Dae Hyeong. "Jadi kabar ini belum mencapai istana. Namun cepat atau lambat, Raja pasti akan mendengar."
"Ini tidak boleh terjadi!" seru Ibu Suri. "Satu-satunya orang yang harus menghasilkan penerus Raja adalah Ratu."
"Namun ia terus-menerus menolak ke kamar Ratu dengan mengatakan bahwa ia sedang kurang sehat." ujar Dae Hyeong. "Jika terus seperti ini, Ratu tidak akan bisa menghasilkan penerus."
Dae Hyeong menyarankan pada Ibu Suri agar membiarkan Raja pergi keluar istana selama beberapa saat untuk memulihkan kesehatannya.
Sementara Raja pergi, Dae Hyeong-lah yang akan mengambil alih pekerjaan Raja.
Dae Hyeong menyarankan agar Raja beristirahat sementara waktu.
"Kau memang mencemaskan kesehatanku atau kau cemas apakah aku masih hidup atau sudah mati?" tanya Hwon tajam.
"Tolong jangan berkata seperti itu." kata Dae Hyeong.
"Kalau begitu, apakah kau mau pergi bersamaku?" tanya Hwon. Karena Dae Hyeong hanya diam, Hwon melanjutkan dengan sindiran. "Ah, aku lupa! Jika aku tidak ada, kaulah orang yang akan mengambil alih segalanya di istana. Ini adalah peluang yang bagus untuk mengetahui semua permasalahan negara. Karena itulah, aku lebih memilih tinggal di istana dan tidak pergi. Apakah ada kata-kataku yang salah, Menteri?"
Tidak lama kemudian, kasim masuk ke ruangan dan mengatakan kalau Ibu Suri ingin bertemu.
Hwon langsung mengeluh. "Ah, banyak sekali orang yang ingin bertemu denganku hari ini." ujarnya seraya memandang tajam pada Dae Hyeong. "Aku yakin nenek akan mengatakan hal yang sama denganmu."
Dalam perjalanan ke paviliun Ibu Suri, Hwon berpapasan dengan Ratunya. Hwon kelihatan sangat tidak suka.
Bo Kyung sangat senang melihat Hwon. "Anda datang, Yang Mulia." sapanya ramah.
Tanpa mengatakan apa-apa, Hwon berjalan pergi.
Bo Kyung menarik napas untuk meredakan emosinya, kemudian tersenyum lagi.
Sesuai perkiraan, Ibu Suri mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Dae Hyeong.
Hwon menolak dengan alasan tidak bisa meninggalkan pekerjaan kenegaraannya dan kesehatannya cukup baik.
"Lalu kenapa kau belum juga memiliki penerus?" tanya Ibu Suri.
Hwon diam.
Bo Kyung meminta maaf. "Ini semua salahku." katanya. "Aku tidak bisa melayani Yang Mulia dengan baik."
"Kau wanita yang malang." ujar Ibu Suri.
Hwon terus menolak untuk pergi,
"Jika kau tidak menuruti keinginanku, maka aku takut kalau aku tidak punya pilihan lain." ancam bu Suri. "Dayang Park! Mulai saat ini, aku tidak mau makan apapun. Jika Yang Mulia tidak menghormati permintaan neneknya yang sudah tua, aku tidak akan mau hidup lagi."
Hwon hanya diam.
Ibu Suri (ibu Hwon) berusaha membujuk Hwon agar pergi, namun Hwon tetap menolak.
Bo Kyung berlutut di depan paviliun Ibu Suri.
"Tolong jangan marah seperti ini, Yang Mulia." seru Bo Kyung pada ibu Suri. "Semua ini adalah salahku karena aku tidak bisa melayani Yang Mulia dengan baik."
Bo Kyung terus berteriak dan menangis menyalahkan dirinya sendiri.
Hwon, yang mengetahui tindakan Bo Kyung dari kasim, langsung datang menghampiri.
"Bangun, Ratu." perintah Hwon. "Udara sangat dingin, jadi tolong bangunlah."
Bo Kyung menggeleng. "Aku akan tetap berlutut sampai Ibu Suri bersedia makan lagi." katanya.
"Aku akan meminta Ib uSuri mengakhiri semua ini." kata Hwon. "Aku tidak akan membiarkan beliau kelaparan. Jadi lebih baik kau bangun."
Akhirnya Bo Kyung bangkit. Ketika hendak bangkit, tidak sengaja ia hampir terjatuh.
Hwon menahan tubuhnya.
"Kau memiliki Ibu Suri di dalam istana dan ayahmu di luar istana." ujar Hwon pelan. "Kau sangat beruntung memiliki pendukung seperti itu."
Bo Kyung hendak melepaskan diri dari Hwon, namun Hwon mempererat pegangannya.
"Kau masih ingat apa yang pernah kukatakan saat pernikahan kita?" tanya Hwon. "Jika kau lupa, aku akan mengingatkan."
Hwon mendekatkan wajahnya ke telinga Bo Kyung. "Kau dan keluargamu mungkin akan mendapatkan apa yang kalian inginkan, tapi jangan harap kalian akan mendapatkan hatiku juga. Karena kalian tidak akan pernah mendapatkannya."
Bo Kyung meneteskan air mata.
Hwon berjalan pergi.
Bo Kyung masuk ke kamarnya dengan langkah terhentak-hentak karena marah. Seluruh tubuhnya gemetar.
"Apakah kau masih belum bisa melupakannya?" tanya Bo Kyung dalam hati. "Dia sudah lama mati. Ratu istana ini bukan dia, tapi aku!"
Dayang masuk dan mengatakan kalau Min Hwa datang.
Setelah Min Hwa masuk ke dalam ruangan, wajah Bo Kyung berubah drastis menjadi manis dan ramah.
Min Hwa datang karena diperintahkan ibunya untuk menghibur Bo Kyung.
"Kudengar kau memohon maaf." ujar Min Hwa.
"Aku tidak punya keyakinan dalam melayani Yang Mulia sehingga tidak bisa menghasilkan penerus." ujar Bo Kyung.
"Kurasa bukan karena tidak ada keyakinan." ujar Min Hwa polos. "Itu karena diantara kau dan kakak tidak ada cinta. Kakak tidak pernah ke ruanganmu karena kakak tidak menyukai..."
Bo Kyung langsung memotong ucapan Min Hwa dengan membicarakan hal lain.
Min Hwa pulang ke rumahnya.
Ia dan Yeom kini sudah menikah.
Min Hwa mengira Yeom sedang tidur di kamar, namun rupanya orang itu bukan Yeom melainkan Yang Myeong.
Min Hwa ngambek. Ia keluar dari kamar dan melempat sepatu Yang Myeong ke atas genteng.
"Kenapa setiap kemari, kau selalu membuat adikmu marah?" tanya Yeom.
"Dia menyebalkan." kata Yang Myeong. "Dia memaksamu menjadi suaminya. Ketika almarhum Raja sebelumnya masih hidup, ia ingin kau mendampingi Raja saat ini. Tapi kenapa mereka malah mencekal orang berbakat sepertimu? Aku marah pada almarhum Raja, Yang Mulia dan Putri Min Hwa."
"Jangan berkata seperti itu." ujar Yeom. "Putri adalah penyelamat keluargaku. Anggota keluargaku tidak dibunuh dan masih bisa hidup sempai sekarang adalah berkat Putri."
"Dia mengubur bakat dan ambisimu." ujar Yang Myeong kesal.
Yang Myeong dan Yeom keluar dari ruangan.
Setelah sadar sepatunya hilang, ia mengeluarkan sepatu cadangan dari balik jubahnya.
"Kesehatan Yang Mulia tidak juga membaik." kata Yeom.
Yang Myeong terlihat sedih. Ia kemudian menoleh melihat ke arah kamar Yeon Woo dulu.
"Jangan melihat lagi." ujar Yeom.
"Jika ia masih hidup, seperti apakah wajahnya?" tanya Yang Myeong. "Di dalam benakku, adikmu tetap berumur 13 tahun."
Yang Myeong berjalan seorang diri.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Yeon Woo kecil, ilusi Yang Myeong.
"Aku sedang memikirkanmu." jawab Yang Myeong.
"Kenapa kau tidak kembali saja ke istana?"
"Apa ia memintamu mengatakan ini padaku?" tanya Yang Myeong.
"Tidak." jawab Yeon Woo. "Aku hanya merasa kalau ia sedang menunggumu."
"Siapa yang menungguku?"
"Yang Mulia." jawab Yeon Woo.
"Setelah aku membuatnya terluka, kenapa ia masih mau menungguku?" tanya Yang Myeong.
"Ia menunggumu." ulang Yeon Woo.
"Semua yang kau bicarakan selalu tentang dia." protes Yang Myeong.
"Ia tidak bisa berbagi pikiran dengan orang lain disana." kata Yeon Woo sedih. "Ia pasti merasa kesepian."
"Bukankah ia memiliki Woon di sisinya?" tanya Yang Myeong.
"Pangeran Yang Myeong, tolong lindungi dia." pinta Yeon Woo. "Kuharap Pangeran Yang Myeong bisa melindunginya."
Yeon Woo menghilang.
Yang Myeong terdiam sejenak. Ia kemudian melihat tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada kumpulan orang.
"Pangeran Yang Myeong!" seru seseorang.
Yang Myeong melarikan diri. Orang-orang itu mengejarnya.
Yang Myeong bersembunyi sehingga ia bisa lolos dari kejaran.
"Apa kau puas sekarang?" tanya Yang Myeong dalam hati. "Dengan cara inilah aku melindungi Yang Mulia."
Malam itu, lagi-lagi Hwon tidak bisa tidur nyenyak. Ia bermimpi buruk mengenai masa lalunya. Terngiang-ngiang semua perkataan Yeon Woo, Ibu Suri dan Yang Myeong. Ia merasa kalau kematian Yeon Woo adalah karena kesalahannya.
"Apakah mimpi yang sama?" tanya Woon ketika melihat Hwon terbangun.
Hwon mengajak Woon berbincang di luar.
"Woon, apa kau tahu kenapa halaman ini disebut Paviliun Bulan Tersembunyi?" tanya Hwon. "Ketika ayah pertama kali membangun tempat ini, bulan yang ada di kolam kelihatan indah, jadi ia ingin memiliki bulan itu selamanya. Jadi ketika bulan tidak muncul di langit, ia masih bisa melihat bulan. Itulah arti sebenarnya dari Paviliun Bulan Tersembunyi."
"Hamba akan mengingat hal itu." ujar Woon.
"Aku juga diam-diam menyembunyikan bulan disini." lanjut Hwon. "Ketika bulan di langit tidak ada, aku tetap bisa melihat bulan. Walaupun matahari dan bulan tidak bisa berada di langit pada saat yang sama, namun paling tidak mereka masih bisa bersama di dalam kolam itu."
Nok Young sedang berdoa di bukit. Mendadak Jan Shil datang dengan membawa surat.
Nok Young membaca surat tersebut. Surat itu berisikan perintah agar ia kembali.
Nok Young berjalan bersama tiga orang gadis di darmaga. Satu gadis adalah Jan Shil, satu orang lagi adalah gadis yang berpakaian seperti lelaki (Seol) dan yang satunya lagi adalah seorang gadis yang kepalanya tertutupi tudung.
"Kami harus pergi sekarang." ujar Nok Young.
Gadis bertudung membuka jubahnya... Bahkan melihat jenazah Yeon Woo saja ia tidak bisa.
Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar