Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 5
Sinopsis The Moon Embraces The Sun Episode 5
Ia harus menunduk memberi hormat tanpa membuat lilin di depannya bergerak.
Dari luar paviliun Yeon Woo, Hwon berdiri dan menyapa secara tidak langsung.
"Apakah tidurmu nyenyak?" tanya Hwon dalam hati. "Aku yakin pelajaranmu mulai hari ini akan sangat sulit."
Mendadak terdengar suara pecahan piring. Hwon terkejut.
Di dalam, Yeon Woo sedang mencoba membawa piring dengan posisi yang 'aneh', yakni dengan kedua lengannya. Ia belajar seperti itu untuk menjaga posisi tubuhnya saat berjalan.
Piring kesekian akhirnya jatuh dan pecah juga. Yeon Woo tersenyum.
Saat sedang beristirahat, dayang mengantarkan surat untuk Yeon Woo dari Hwon.
Yeon Woo melihat surat itu dengan ekspresi sangat senang.
"Istana dikawal dengan sangat ketat, jadi aku belum bisa menemuimu saat ini." ujar Hwon. "Tapi aku akan menunggu. Aku akan menunggu sampai hari dimana kau menemui sebagai Putri Mahkota."
Malam itu, Nok Young berada di Balai Samawi. Ibu Suri datang berkunjung.
"Apakah semuanya sudah siap?" tanya Ibu Suri, seraya memberi isyarat pada dayangnya untuk memberikan sesuatu pada Nok Young. "Ini adalah dokumen mengenai karakter kelahiran anak itu dan pakaian yang pernah digunakannya. Cepatlah mulai."
Nok Young memulai upacaranya untuk mengguna-guna Yeon Woo.
Di sisi lain, Yeon Woo saat itu sedang menyiapkan sebuah surat. Setelah selesai dengan suratnya, ia meniup lilin dan berbaring di ranjangnya.
Saat sedang tidur, asap hitam kiriman Nok Young masuk ke kamar Yeon Woo dan mencekik lehernya. Yeon Woo ingin berteriak, namun ia tak mampu melakukannya.
Yeon Woo mencoba merangkak ke luar kamar untuk meminta bantuan. Namun sayang usahanya sia-sia. Sebelum mencapai pintu, Yeon Woo sudah jatuh pingsan.
"Apakah sudah selesai?" tanya Ibu Suri.
"Sudah." jawab Nok Young datar.
"Lalu kapan aku bisa membuat pengumuman?" tanya Ibu Suri lagi.
'Itu diluar kemampuanku." jawab Nok Young,
"Bukankah kau bilang ini akan jadi fatal baginya?" tanya tuntut Ibu Suri.
"Jangan cemas." ujar Nok Young. "Ia akan sakit selama beberapa saat dan penyakitnya tidak akan bisa diidentifkasi. Setelah itu, ia akan mati secara alami."
Ibu Suri tersenyum sinis. "Itu lebih baik agar tidak menimbulkan kecurigaan." katanya jahat. "Namun jika ia tidak juga mati, maka kau harus langsung membunuhnya."
Ibu Suri menoleh sekilas ke arah kiri, kemudian berjalan dan membuka pintu.
Disana, berdirilah Min Hwa dengan wajah ketakutan. Ia telah mendengar semuanya.
"Apa kau takut?" tanya Ibu Suri pada Min Hwa. "Semuanya sudah berakhir, jadi kau bisa tenang. Jangan cemas. Di masa depan, kau bisa memperoleh apa yang kau inginkan."
Ibu Suri ingin mengkambinghitamkan Min Hwa. Dengan menggunakan alasan bahwa Min Hwa ingin menikah dengan Yeom, maka Ibu Suri membunuh Yeon Woo.
Malam itu, dayang menemukan Yeon Woo terkapar di lantai. Ia bergegas menyuruh anak buahnya memanggi tabib.
Beberapa hari telah berlalu. Yeon Woo diketahui menderita penyakit aneh dan tidak diketahui penyebabnya.
"Kami menyarankan agar Yang Mulia mengeluarkan Putri Mahkota dari istana." ujar salah seorang Pejabat. "Ini sudah beberapa hari sejak gejalanya muncul dan belum ada tanda-tanda kesembuhan. Ini bukan penyakit biasa."
Namun Raja tidak setuju. "Membiarkannya tinggal di istana untuk mendapat perawatan dari tabib adalah cara yang paling baik." katanya.
"Membiarkan orang yang sakit tetap tinggal di istana bukalah tindakan bijaksana!" seru pejabat yang lain. "Bagaimana jika ada anggota kerajaan yang tertular penyakitnya?"
Pro dan kontra terus terjadi.
Dae Hyeong turun untuk bicara. Ia mengatakan bahwa tidak seharusnya seorang Putri Mahkota yang nantinya akan menjadi Ratu menderita suatu penyakit. Ia menyarankan pada Raja agar menghukum seluruh anggota keluarga Heo, yang menurutnya berani menyembunyikan penyakit yang diderita Yeon Woo.
Keadaan Yeon Woo tak juga membaik.
Seorang tabib istana masuk dan memerintahkan perawat agar membawa Yeon Woo keluar istana.
Hwon sangat terpukul mengetahui keadaan Yeon Woo.
Ia berjalan mendekati paviliun Yeon Woo, namun para pengawal melarangnya masuk.
Mata Hwon merah karena terlalu banyak menangis.
"Kalian tidak mau minggir?" tanya Hwon pada pengawal. "Dia adalah Putri Mahkotaku! Siapa yang berani memulangkannya tanpa seizinku?! Minggir!"
Para pengawal hanya menunduk diam.
Kasim Hyeon Sun hanya bisa menangis melihat Hwon.
"Minggir!" seru Hwon, hendak menerobos masuk.
Tidak lama kemudian, Yeon Woo dipapah keluar oleh para perawat istana.
Hwon menangis melihatnya.
"Yang Mulia..." gumam Yeon Woo.
"Yeon Woo..." Hwon menangis keras sambil terus menyebut nama Yeon Woo. "Yeon Woo!"
"Dia adalah Putri Mahkotaku!" teriak Hwon. "Minggir kalian! Minggir! Yeon Woo!"
Perlahan, Yeon Woo dibawa pergi diiringi tangisan dan teriakan Hwon.
Ibu Suri menatap kejadian itu dari jauh. Ia teringat perkataan Dae Hyeong padanya beberapa waktu yang lalu.
Dengan kejadian ini, kekuasaan di istana menjadi berbalik.
Dae Hyeong meminta Ibu Suri berhati-hati pada Putra Mahkota. Putra Mahkota bukannya tidak mengerti politik. Hanya penampilan luarnya saja yang terlihat naif, tapi suatu hari nanti Joseon akan menjadi miliknya. Ditambah lagi, di sisi Putra Mahkota ada Heo Yeom dan ia sudah berhasil mengendalikan akademi.
Ibu Suri menghampiri Hwon.
"Putra Mahkota." panggilnya.
Hwon menoleh. "Nenek..."
Ibu Suri memulai rencananya untuk mendekati Hwon.
"Hatimu pasti merasa sakit, Putra Mahkota." ujar Ibu Suri. "Mulai saat ini, lupakan gadis itu."
Hwon mendongak kesal. "Dia adalah Putri Mahkota cucumu." katanya. "Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya begitu saja?"
"Kau harus melupakan gadis itu agar kondisi kerajaan menjadi stabil." ujar Ibu Suri.
"Nenek!"
"Jangan lakukan apapun dan turuti perintah istana." kata Ibu Suri kejam.
"Perintah?!" seru Hwon marah. Hwon sadar bahwa berlebihan, maka ia menurunkan nada suaranya. "Perintah apa?!"
"Putra Mahkota, sejak kau berhasil mengendalikan akademi, apa yang kau peroleh?" tanya Ibu Suri. "Kau tidak memperoleh apapun, bukan? Jika Yang Mulia dan Putra Mahkota melepaskannya, ia akan memperoleh kehidupan yang damai dan bahagia. Jika ia tidak dipilih menjadi Putri Mahkota, ia tidak akan mendapat masalah apapun dan tidak akan terkena penyakit. Biarkan ia dirawat oleh ibunya, ia akan merasa lebih nyaman. Dengan reaksimu yang seperti ini, siapa yang akan bahagia melihatnya? Jika gadis itu menderita, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota. Jika sayap kakaknya terikat, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota. Dan jika reputasi Yang Mulia rusak, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota. Jika keluarga pejabat Heo hancur, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota."
Hwon menunduk diam dengan ancaman halus Ibu Suri.
"Jangan biarkan orang lain menderita atau terluka." lanjut Ibu Suri.
Hwon mengepalkan tangannya erat.
"Jadi, jangan lakukan apapun dan duduk yang manis." ujar Ibu Suri. "Dengan begitu, tidak akan ada seorangpun yang terluka."
Hwon meneteskan air mata.
Keluarga Heo memanggil tabib untuk memeriksakan putrinya. Namun usaha mereka sia-sia. Tabib tersebut tidak tahu penyakit apa yang sedang diderita Yeon Woo.
"Tidak ada yang salah dengan organ dalamnya." ujar Tabib. "Kesehatannya baik-baik saja. Tapi gejalanya kelihatan aneh."
Mendadak, Yeon Woo seperti tercekik sesuatu dan kesulitan bernafas.
Ibunya langsung panik. "Tolong selamatkan putriku, Tabib!" tangisnya. "Jika kau bisa menyelamatkannya, aku akan melakukan apapun!"
Ibu Yeon Woo menangis histeris dan memohon-mohon pada tabib agar menyelamatkan putrinya. Setelah itu, ia jatuh pingsan.
Walaupun terlihat tenang, namun Young Jae sebenarnya sangat cemas.
Ia berjalan keluar dan menemukan Nok Younga ada disana.
"Siapa kau?" tanya Young Jae.
"Aku adalah Shaman dari Balai Samawi, Jang Nok Young." ujar Nok Young memperkenalkan diri.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Aura istimewamu yang membimbingku kemari." jawab Nok Young. "Aku datang tanpa sepengetahuan siapapun, jadi jangan khawatir. Bolehkah aku melihat putrimu?"
Young Jae mengajak Nok Young masuk ke kamar Yeon Woo.
"Yang diderita Nona adalah penyakit mistis." ujar Nok Young.
Mata Yeon Woo terbuka sedikit untuk melihat Nok Young.
Fraksi dibawah pinpinan Dae Hyeong dan Ibu Suri berpesta karena merasa menang.
Dae Hyeong merencanakan sesuatu untuk menghancurkan Heo Young Jae.
"Bagaimana jika Putri Mahkota sehat dan kembali?" tanya salah seorang pejabat.
"Ia tidak akan kembali hidup-hidup kecuali sebagai roh atau bangkit dari kubur." jawab Dae Hyeong.
Dari luar, Bo Kyung mendengar semua percakapan mereka.
"Apa Ayah akan membunuh Yeon Woo?" tanya Bo Kyung ketika ayahnya keluar dari ruangan.
"Apa kau takut pada ayahmu?" tanya Dae Hyeong. "Atau merasa kasihan pada anak itu? Anak yang kau tanyakan itu.... ia akan mati jika waktunya tiba. Tapi tentu saja waktunya sudah ditentukan sesuai dengan rencana kita."
Bo Kyung hanya diam, menatap ayahnya dengan takut.
Dae Hyeong bercerita pada Bo Kyung bahwa dulu ia pernah direndahkan. Karena itulah ia berusaha untuk naik hingga ia bisa menjadi seperti sekarang ini. Ia memerintahkan Bo Kyung agar tidak memiliki rasa kasihan pada orang lain.
"Ini adalah pengaruh sihir." kata Nok Young.
Mulanya Young Jae tidak percaya, namun ia tidak bisa melakukan apapun. Penyakit putrinya memang aneh.
"Aku tidak tahu kenapa langit memilih putrimu." ujar Nok Young. "Mungkin langit marah karena ia menolak untuk menerimanya. Karena itulah ia jatuh sakit. Lalu bagaimana keputusanmu? Apakah kau mau menerima jimat?"
"Adakah cara untuk mematahkan sihir yang mengenai putriku?" tanya Young Jae.
"Ada satu solusi." ujar Nok Young. "Namun harus dibayar dengan kematian."
"Aku bersedia menyerahkan nyawaku." ujar Young Jae.
"Nona harus mengorbankan nyawanya sendiri." jawab Nok Young.
Young Jae terdiam.
Para pejabat kerajaan meminta petisi untuk menunjuk Putri Mahkota baru.
"Yoon Dae Hyeong!" seru Hwon marah seraya menggebrak meja.
Hwon berniat pergi menemui Raja, namun kasim memintanya untuk tenang.
Hwon kembali duduk, mencoba menenangkan diri.
"Aku sangat tidak berguna." keluhnya pada diri sendiri. "Putri Mahkota dipulangkan ke rumahnya. Guru Heo dilarang masuk ke istana hanya karena salah satu anggota keluarganya sakit. Pada saat-saat seperti ini, bahkan Kak Yang Myeong juga tidak ada. Di istana ini, aku tidak lagi punya siapapun di sisiku."
Mendadak Hwon terdiam, teringat bahwa ia masih memiliki seseorang.
Woon sedang berlatih bertarung dengan para pengawal. Teman-temannya kagum melihat keahlian Woon dalam memainkan pedang. Ia sungguh tidak ada tandingannya.
Hwon datang ke tempat Woon.
Dengan alasan karena permainan sepak bola waktu itu, ia mencari Woon.
"Kau pencetak gol terbanyak saat itu kan?" tanya Hwon pada salah seorang pengawal. Sengaja salah orang.
"Bukan." jawab pengawal itu. "Aku hanya dipenuhi ambisi untuk menang namun kemampuanku masih kurang."
"Lalu, apakah orang itu?" tanya Hwon, menunjuk orang lain.
Semua pengawal melirik ke arah Woon.
"Dia adalah Kim Je Woon." ujar para pengawal bersamaan.
Hwon kemudian menyuruh Woon dan salah seorang pengawal agar ikut dengannya.
Para pengawal yang lain hanya melongo menatap kepergian mereka.
"Bukankah pertandingan itu sudah lama?" tanya salah seorang pengawal dengan cemas.
"Apa mereka akan dikeluarkan karena masalah itu?" tanya pengawal yang lain waswas.
Malam itu, Yeon Woo tertidur namun tak nyenyak. Ia masih merintih kesakitan.
"Yeon Woo..." Samar-samar Yeon Woo mendengar suara Hwon memanggil. "Yeon Woo..."
Yeon Woo membuka matanya dan melihat Hwon di sampingnya.
"Apa kau mengenaliku?" tanya Hwon.
Yeon Woo hanya diam.
"Tidak apa-apa." ujar Hwon sedih. "Asalkan aku tetap bisa mengenalimu. Tidak apa-apa..."
Yeon Woo menutup matanya lagi.
Hwon terlihat cemas dan menyentuh lengan Yeon Woo. "Yeon Woo..." panggilnya.
Yeon membuka matanya lagi. "Apakah kau nyata?"
"Apa maksudmu?"
"Kau bukan khayalan?" tanya Yeon Woo. "Apa kau benar-benar..."
Yeon Woo dan Hwon tersenyum, namun meneteskan air mata.
"Aku bodoh, bukan?" tanya Hwon.
Hwon mengeluarkan tusuk kundai dan meletakkannya di tangan Yeon Woo.
"Apa ini?" tanya Yeon Woo.
"Ini adalah 'Bulan yang memeluk matahari'." jawab Hwon. "Jika Raja adalah Matahari, maka Ratu adalah Bulan. Ini adalah kundai phoenix yang melambangkan bulan putih yang memeluk matahari merah. Karena itulah aku memberinya nama 'Bulan yang memeluk matahari'."
Yeon Woo menatap kundai pemberian Hwon.
"Satu-satunya Putri Mahkota di hatiku adalah kau, Yeon Woo." ujar Hwon. "Jadi cepatlah sembuh dan kembali ke sisiku."
Yeon Woo tersenyum.
"Putra Mahkota, aku sangat minta maaf." kata Yeon Woo lemah. "Hari pertama aku bertemu denganmu, aku salah menyebutmu pencuri. Maafkan aku. Aku sangat kurang ajar dan bersikap tidak hormat padamu. Maafkan aku."
Hwon tersenyum.
"Semua ini adalah salahku." lanjut Yeon Woo. "Aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Jadi, apapun yang terjadi, mohon jangan salahkan dirimu sendiri."
"Seorang pria sejati tidak pernah melawan langit dan memendam dendam pada manusia." ujar Hwon, mengatakan perkataan yang dulu pernah dituliskan Yeon Woo dalam suratnya.
Yeon Woo tersenyum, sama halnya dengan Hwon.
"Putra Mahkota..." panggil Yeon Woo. "Aku... setelah bertemu denganmu, aku sangat bahagia."
Mendengat itu, Hwon ingin menangis. "Mulai saat ini, kau akan lebih bahagia." katanya. "Jangan katakan hal seperti itu."
Di luar, Woon berbincang dengan Yeom.
Rupanya Putra Mahkota memanggil Woon untuk mengawalnya ke rumah Yeon Woo.
Yeom heran kenapa Woon mau mengantar Hwon. "Ini tidak sepertimu." katanya.
Diam-diam, Seol mengintip mereka. Yeom dan Woon tersenyum.
"Anak itu mirip sepertimu ketika masih kecil." ujar Yeom. "Ada satu sisi pada dirinya yang menyukai pedang dan berpedang. Aku bisa merasakan dirimu pada dirinya."
Woon hanya tersenyum.
Woon mengantar Hwon pulang.
Dalam perjalanan, Hwon mengajak Woon berbincang.
"Namamu Kim Je Woon, bukan?" tanya Hwon. "Guru Heo dan Kak Yang Myeong memanggilmu Woon?"
"Benar." ujar Woon.
"Bolehkah aku memanggilmu Woon juga?" tanya Hwon.
"Terima kasih, Yang Mulia." ujar Woon seraya menunduk berterima kasih.
Hwon tersenyum ."Woon, terima kasih." katanya. "Aku selalu ingin melihat tempat dimana Putri Mahkota dilahirkan dan hidup. Putri Mahkota sangat menderita saat ini, tapi aku tidak bisa melakukan apapun untuknya."
"Putra Mahkota..."
"Menjadi Putra Mahkota... Karena aku adalah seorang Putra Mahkota..." Hwon tak kuasa menahan air matanya. "Aku sangat tidak berguna."
Woon merasa iba melihat Hwon.
Yang Myeong masih tidak mengetahui apa yang terjadi pada Yeon Woo. Dengan tenang, ia berjalan-jalan di kota.
Di kota, Yang Myeong malah adu gulat dengan rakyat setempat.
Di tengah pertandingan, ia teringat Yeon Woo. Ia diam dan membiarkan dirinya dipukuli habis-habisan.
Seusai adu gulat, Yang Myeong makan di kedai. Disana, ia mendengar percakapan rakyat yang mengeluh karena seseorang daro keluarga Yoon akan menjadi Putri Mahkota.
"Putri Mahkota yang sebenarnya dipaksa keluar dari istana karena terserang penyakit." ujar salah seorang pria. "Dia sudah tidak sadar selama dua hari. Ia hanya menunggu mati."
Yang Myeong terkejut mendengar kabar tersebut.
"Apa maksudmu?!" seru Yang Myeong seraya menarik baju pria itu. "Kau bilang Putri Mahkota akan mati?! APA MAKSUDMU?!"
Setelah mendengar berita tersebut, Yang Myeong langsung pergi ke Ibu Kota.
Young Jae memerintahkan Yeom menyingkir dari Ibu Kota.
"Aku memerintahkanmu untuk pergi ke rumah pamanmu selama beberapa waktu untuk menghindari tularan penyakit." kata Young Jae.
"Ayah..."
"Kau adalah putra sulung keluarga ini sekaligus tangan kanan Putra Mahkota." lanjut Young Jae.
"Yeon Woo sedang berada di jurang kematian." protes Yeom. "Bagaimana mungkin kau menyuruhku pergi pada saat-saat seperti ini?"
"Pergilah."
"Aku tidak bisa." tolak Yeom. "Paling tidak, aku ingin tahu penyakit macam apa yang diderita Yeon Woo!"
"Semua tabib saja tidak tahu, bagaimana aku bisa tahu!" seru Young Jae.
"Aku sudah mencari di buku dan aku sudah menemukannya." kata Yeom.
"Ingat kalau kau adalah mentor Putra Mahkota!"
"Melindungi adikku saja aku tidak bisa, bagaimana mungkin aku membantu Putra Mahkota?" seru Yeom.
"Untuk seseorang yang sudah membaca ratusan buku, bagaimana bisa kau menjadi seseorang yang berpikiran pendek?!" seru Young Jae, meledak marah. "Siapa yang akan membantu Putra Mahkota dimasa depan? Kau! Kaulah orang yang akan membantunya! Inilah satu-satunya cara agar kau dan Yeon Woo bisa membayar kebaikan Raja dan aku sebagai ayah kalian. Pergilah."
Yeom sangat terpukul.
Yeom dipaksa pergi dari Ibu Kota.
Seol mengantar kepergiannya diam-diam, namun Yeom melihatnya.
"Seol, aku butuh bantuanmu." kata Yeom. "Karena Yeon Woo sedang tidur, aku tidak ingin membangunkannya. Jika Yeon Woo ingin bertemu denganku, tulislah surat untukku... Tapi kau tidak bisa menulis..." Ia berpikir sejenak. "Kirim saja seseorang untuk memberitahu aku..."
"Aku bisa menulis." potong Seol. "Nona yang mengajariku."
Yeom tersenyum. "Dengan adanya kau disisi Yeon Woo, aku merasa lega." ujarnya. "Ketika aku tidak ada, kau harus menjaga Yeon Woo."
Seol menangis.
Yeom mengusap rambut Seol. "Aku bergantung padamu, Seol."
Seol mengangguk.
Yeom berjalan pergi.
Seol berjalan masuk ke dalam rumah. Young Jae sedang bicara pada seseorang.
"Seol, kau akan pergi dengan pria ini." kata Young Jae. "Dia akan mengantarmu pada majikanmu yang baru."
"Tuan!" seru Seol terkejut.
"Dia adalah pelayan kesayangan putriku." ujar Young Jae pada pria itu. "Jangan biarkan ia bekerja terlalu keras."
Seol menangis dan berlutut di hadapan Young Jae. "Apa aku melakukan kesalahan, Tuan? Aku akan berubah. Tolong jangan jual aku pada orang lain. Aku tidak akan makan banyak. Tolong izinkan aku berada disisi nona. Aku berjanji pada Tuan Muda untuk menjaga nona, jadi tolong jangan..."
Young Jae menyentuh tangan Seol.
"Jika nona sudah sembuh, aku akan menjemputmu lagi." kata Young Jae. "Untuk saat ini, dengarkan permintaanku."
Di dalam kamar, Yeon Woo mulai kesulitan bernafas lagi. Ibunya sangat cemas dan memeluk putrinya.
Young Jae masuk ke dalam kamar dengan panik.
Yeon Woo memuntahkan darah.
"Jika ia masih hidup, tidak ada cara untuk mengeluarkan roh." Young Jae teringat perkataan Nok Young.
"Kau menyuruhku membunuh putriku sendiri?" tanya Young Jae.
"Satu-satunya cara untuk mengeluarkan roh adalah setelah ia mati agar rasa sakitnya berkurang.." jawab Nok Young.
Young Jae akhirnya membuat keputusan.
"Aku ingin menanyakan satu hal padamu." ujar Young Jae pada Nok Young. "Jika ia menggunakan obat itu, apakah rasa sakitnya akan berkurang?"
"Ya." jawab Nok Young.
"Benarkah roh itu bisa dikeluarkan dan membuat Yeon Woo tenang?" tanya Young Jae lagi.
"Aku bisa menjamin." jawab Nok Young.
"Tuan Heo, maafkan aku." ujar Nok Young dalam hati setelah berjalan pergi. "Aku akan menggunakan hidupku untuk menebus dosa ini."
Pagi itu, Young Jae meramukan obat untuk putrinya.
Yeon Woo tahu kalau hidupnya tidak akan lama lagi. Ia berusaha bangkit dari tidurnya untuk menulis surat.
"Putra Mahkota, aku menggunakan tenagaku yang tersisa untuk menulis surat ini."
Hwon terbangun dari tidurnya. Ia melihat Yeon Woo sedang duduk di dekat jendela sambil melihat pot tanaman yang ia berikan untuk Hwon.
Hwon tersenyum melihat Yeon Woo. "Apa kau sudah sembuh?" tanyanya.
"Apakah kau tahu kenapa aku memberikan tanaman ini padamu, Putra Mahkota?" tanya Yeon Woo. "Sebenarnya, aku punya maksud rahasia. Aku berharap kau penasaran akan tumbuh menjadi apa tanaman ini. Jika kau penasaran, maka kau akan mengirim surat padaku."
"Itu artinya, kau selalu menunggu surat dariku?" tanya Hwon.
Yeon Woo mengangguk.
"Seharusnya kau mengatakan itu dari dulu." protes Hwon. "Aku selalu merasa kau menghindariku."
"Putra Mahkota..." panggil Yeon Woo seraya bangkit dan memberi hormat pada Hwon. "Semoga kau selalu sehat dan damai."
Hwon terbangun. Rupanya itu hanya mimpi.
Yeon Woo selesai menulis surat. Dengan lemah, ia merangkak menuju peti di kamarnya dan menyimpan surat itu disana.
Yeon Woo kembali memejamkan mata dan tidur.
Tidak lama kemudian, Young Jae masuk ke kamar Yeon Woo.
"Yeon Woo, bangun." ujarnya. "Ini waktunya untuk minum obat."
Yeon membuka matanya.
"Yeon Woo, aku ingin minta maaf." kata Young Jae. "Banyak sekali hal yang membuatku merasa menyesal. Jika tahu akan seperti ini, seharusnya aku mengizinkanmu belajar apapun yang kau mau. Seharusnya aku membiarkanmu melakukan apapun yang kau inginkan."
Young Jae tak kuasa menahan air matanya.
"Ayah, cepat berikan obat itu padaku." ujar Yeon Woo lemah.
Young Jae terkejut mendengar permintaan putrinya.
"Setelah minum obat itu, aku tidak akan jatuh sakit lagi." ujar Yeon Woo.
Tangan Young Jae bergetar. Perlahan, ia meminumkan obat tersebut pada Yeon Woo.
"Obat ini pahit, bukan?" tanya Young Jae, menangis.
"Sangat pahit."
"Ayah akan memelukmu sampai kau tertidur." tangis Young Jae, memeluk erat putrinya.
"Pelukan ayah seperti pelukan kakak." gumam Yeon Woo.
Young Jae merasakan kundai phoenix di dada Yeon Woo.
"Aku ingin tidur bersama benda ini." gumam Yeon Woo. "Tolong biarkan aku memilikinya."
"Yeon Woo..."
"Ayah, aku merasakan mataku berat." ujar Yeon Woo. "Aku akan tidur sekarang."
Yeon Woo menutup matanya.
Young Jae menangis keras. "Maafkan aku, Yeon Woo!"
Yeon Woo meninggal dunia.
"Yeon Woo!" teriak Young Jae histeris.
Mendengar teriakan suaminya, ibu Yeon Woo bergegas menuju kamar. Disana, ia sudah menemukan putri kesayangannya meninggal.
Hwon sangat terpukul mendengar berita kematian Yeon Woo. Ia berusaha keluar, namun pengawal langsung menangkap dan membawanya kembali ke kamar.
"Lepaskan aku!" teriak Hwon. "Aku harus mengatakan sesuatu pada Putri Mahkota! Lepaskan aku! Yeon Woo! Yeon Woo!"
Hwon terus menjerit-jerit dan menangis histeris.
Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 6
anda sedang membaca artikel Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 5 ini dengan url http://anekabaca.blogspot.com/2012/02/sinopsis-moon-that-embraces-sun-episode_4119.html
Hari itu, Yeon Woo mulai diajari mengenai tata krama di istana sebagai Putri Mahkota. Ia kelihatan cukup kesulitan.
Ia harus menunduk memberi hormat tanpa membuat lilin di depannya bergerak.
Dari luar paviliun Yeon Woo, Hwon berdiri dan menyapa secara tidak langsung.
"Apakah tidurmu nyenyak?" tanya Hwon dalam hati. "Aku yakin pelajaranmu mulai hari ini akan sangat sulit."
Mendadak terdengar suara pecahan piring. Hwon terkejut.
Di dalam, Yeon Woo sedang mencoba membawa piring dengan posisi yang 'aneh', yakni dengan kedua lengannya. Ia belajar seperti itu untuk menjaga posisi tubuhnya saat berjalan.
Piring kesekian akhirnya jatuh dan pecah juga. Yeon Woo tersenyum.
Saat sedang beristirahat, dayang mengantarkan surat untuk Yeon Woo dari Hwon.
Yeon Woo melihat surat itu dengan ekspresi sangat senang.
"Istana dikawal dengan sangat ketat, jadi aku belum bisa menemuimu saat ini." ujar Hwon. "Tapi aku akan menunggu. Aku akan menunggu sampai hari dimana kau menemui sebagai Putri Mahkota."
Malam itu, Nok Young berada di Balai Samawi. Ibu Suri datang berkunjung.
"Apakah semuanya sudah siap?" tanya Ibu Suri, seraya memberi isyarat pada dayangnya untuk memberikan sesuatu pada Nok Young. "Ini adalah dokumen mengenai karakter kelahiran anak itu dan pakaian yang pernah digunakannya. Cepatlah mulai."
Nok Young memulai upacaranya untuk mengguna-guna Yeon Woo.
Di sisi lain, Yeon Woo saat itu sedang menyiapkan sebuah surat. Setelah selesai dengan suratnya, ia meniup lilin dan berbaring di ranjangnya.
Saat sedang tidur, asap hitam kiriman Nok Young masuk ke kamar Yeon Woo dan mencekik lehernya. Yeon Woo ingin berteriak, namun ia tak mampu melakukannya.
Yeon Woo mencoba merangkak ke luar kamar untuk meminta bantuan. Namun sayang usahanya sia-sia. Sebelum mencapai pintu, Yeon Woo sudah jatuh pingsan.
"Apakah sudah selesai?" tanya Ibu Suri.
"Sudah." jawab Nok Young datar.
"Lalu kapan aku bisa membuat pengumuman?" tanya Ibu Suri lagi.
'Itu diluar kemampuanku." jawab Nok Young,
"Bukankah kau bilang ini akan jadi fatal baginya?" tanya tuntut Ibu Suri.
"Jangan cemas." ujar Nok Young. "Ia akan sakit selama beberapa saat dan penyakitnya tidak akan bisa diidentifkasi. Setelah itu, ia akan mati secara alami."
Ibu Suri tersenyum sinis. "Itu lebih baik agar tidak menimbulkan kecurigaan." katanya jahat. "Namun jika ia tidak juga mati, maka kau harus langsung membunuhnya."
Ibu Suri menoleh sekilas ke arah kiri, kemudian berjalan dan membuka pintu.
Disana, berdirilah Min Hwa dengan wajah ketakutan. Ia telah mendengar semuanya.
"Apa kau takut?" tanya Ibu Suri pada Min Hwa. "Semuanya sudah berakhir, jadi kau bisa tenang. Jangan cemas. Di masa depan, kau bisa memperoleh apa yang kau inginkan."
Ibu Suri ingin mengkambinghitamkan Min Hwa. Dengan menggunakan alasan bahwa Min Hwa ingin menikah dengan Yeom, maka Ibu Suri membunuh Yeon Woo.
Malam itu, dayang menemukan Yeon Woo terkapar di lantai. Ia bergegas menyuruh anak buahnya memanggi tabib.
Beberapa hari telah berlalu. Yeon Woo diketahui menderita penyakit aneh dan tidak diketahui penyebabnya.
"Kami menyarankan agar Yang Mulia mengeluarkan Putri Mahkota dari istana." ujar salah seorang Pejabat. "Ini sudah beberapa hari sejak gejalanya muncul dan belum ada tanda-tanda kesembuhan. Ini bukan penyakit biasa."
Namun Raja tidak setuju. "Membiarkannya tinggal di istana untuk mendapat perawatan dari tabib adalah cara yang paling baik." katanya.
"Membiarkan orang yang sakit tetap tinggal di istana bukalah tindakan bijaksana!" seru pejabat yang lain. "Bagaimana jika ada anggota kerajaan yang tertular penyakitnya?"
Pro dan kontra terus terjadi.
Dae Hyeong turun untuk bicara. Ia mengatakan bahwa tidak seharusnya seorang Putri Mahkota yang nantinya akan menjadi Ratu menderita suatu penyakit. Ia menyarankan pada Raja agar menghukum seluruh anggota keluarga Heo, yang menurutnya berani menyembunyikan penyakit yang diderita Yeon Woo.
Keadaan Yeon Woo tak juga membaik.
Seorang tabib istana masuk dan memerintahkan perawat agar membawa Yeon Woo keluar istana.
Hwon sangat terpukul mengetahui keadaan Yeon Woo.
Ia berjalan mendekati paviliun Yeon Woo, namun para pengawal melarangnya masuk.
Mata Hwon merah karena terlalu banyak menangis.
"Kalian tidak mau minggir?" tanya Hwon pada pengawal. "Dia adalah Putri Mahkotaku! Siapa yang berani memulangkannya tanpa seizinku?! Minggir!"
Para pengawal hanya menunduk diam.
Kasim Hyeon Sun hanya bisa menangis melihat Hwon.
"Minggir!" seru Hwon, hendak menerobos masuk.
Tidak lama kemudian, Yeon Woo dipapah keluar oleh para perawat istana.
Hwon menangis melihatnya.
"Yang Mulia..." gumam Yeon Woo.
"Yeon Woo..." Hwon menangis keras sambil terus menyebut nama Yeon Woo. "Yeon Woo!"
"Dia adalah Putri Mahkotaku!" teriak Hwon. "Minggir kalian! Minggir! Yeon Woo!"
Perlahan, Yeon Woo dibawa pergi diiringi tangisan dan teriakan Hwon.
Ibu Suri menatap kejadian itu dari jauh. Ia teringat perkataan Dae Hyeong padanya beberapa waktu yang lalu.
Dengan kejadian ini, kekuasaan di istana menjadi berbalik.
Dae Hyeong meminta Ibu Suri berhati-hati pada Putra Mahkota. Putra Mahkota bukannya tidak mengerti politik. Hanya penampilan luarnya saja yang terlihat naif, tapi suatu hari nanti Joseon akan menjadi miliknya. Ditambah lagi, di sisi Putra Mahkota ada Heo Yeom dan ia sudah berhasil mengendalikan akademi.
Ibu Suri menghampiri Hwon.
"Putra Mahkota." panggilnya.
Hwon menoleh. "Nenek..."
Ibu Suri memulai rencananya untuk mendekati Hwon.
"Hatimu pasti merasa sakit, Putra Mahkota." ujar Ibu Suri. "Mulai saat ini, lupakan gadis itu."
Hwon mendongak kesal. "Dia adalah Putri Mahkota cucumu." katanya. "Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya begitu saja?"
"Kau harus melupakan gadis itu agar kondisi kerajaan menjadi stabil." ujar Ibu Suri.
"Nenek!"
"Jangan lakukan apapun dan turuti perintah istana." kata Ibu Suri kejam.
"Perintah?!" seru Hwon marah. Hwon sadar bahwa berlebihan, maka ia menurunkan nada suaranya. "Perintah apa?!"
"Putra Mahkota, sejak kau berhasil mengendalikan akademi, apa yang kau peroleh?" tanya Ibu Suri. "Kau tidak memperoleh apapun, bukan? Jika Yang Mulia dan Putra Mahkota melepaskannya, ia akan memperoleh kehidupan yang damai dan bahagia. Jika ia tidak dipilih menjadi Putri Mahkota, ia tidak akan mendapat masalah apapun dan tidak akan terkena penyakit. Biarkan ia dirawat oleh ibunya, ia akan merasa lebih nyaman. Dengan reaksimu yang seperti ini, siapa yang akan bahagia melihatnya? Jika gadis itu menderita, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota. Jika sayap kakaknya terikat, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota. Dan jika reputasi Yang Mulia rusak, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota. Jika keluarga pejabat Heo hancur, kaulah penyebabnya, Putra Mahkota."
Hwon menunduk diam dengan ancaman halus Ibu Suri.
"Jangan biarkan orang lain menderita atau terluka." lanjut Ibu Suri.
Hwon mengepalkan tangannya erat.
"Jadi, jangan lakukan apapun dan duduk yang manis." ujar Ibu Suri. "Dengan begitu, tidak akan ada seorangpun yang terluka."
Hwon meneteskan air mata.
Keluarga Heo memanggil tabib untuk memeriksakan putrinya. Namun usaha mereka sia-sia. Tabib tersebut tidak tahu penyakit apa yang sedang diderita Yeon Woo.
"Tidak ada yang salah dengan organ dalamnya." ujar Tabib. "Kesehatannya baik-baik saja. Tapi gejalanya kelihatan aneh."
Mendadak, Yeon Woo seperti tercekik sesuatu dan kesulitan bernafas.
Ibunya langsung panik. "Tolong selamatkan putriku, Tabib!" tangisnya. "Jika kau bisa menyelamatkannya, aku akan melakukan apapun!"
Ibu Yeon Woo menangis histeris dan memohon-mohon pada tabib agar menyelamatkan putrinya. Setelah itu, ia jatuh pingsan.
Walaupun terlihat tenang, namun Young Jae sebenarnya sangat cemas.
Ia berjalan keluar dan menemukan Nok Younga ada disana.
"Siapa kau?" tanya Young Jae.
"Aku adalah Shaman dari Balai Samawi, Jang Nok Young." ujar Nok Young memperkenalkan diri.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Aura istimewamu yang membimbingku kemari." jawab Nok Young. "Aku datang tanpa sepengetahuan siapapun, jadi jangan khawatir. Bolehkah aku melihat putrimu?"
Young Jae mengajak Nok Young masuk ke kamar Yeon Woo.
"Yang diderita Nona adalah penyakit mistis." ujar Nok Young.
Mata Yeon Woo terbuka sedikit untuk melihat Nok Young.
Fraksi dibawah pinpinan Dae Hyeong dan Ibu Suri berpesta karena merasa menang.
Dae Hyeong merencanakan sesuatu untuk menghancurkan Heo Young Jae.
"Bagaimana jika Putri Mahkota sehat dan kembali?" tanya salah seorang pejabat.
"Ia tidak akan kembali hidup-hidup kecuali sebagai roh atau bangkit dari kubur." jawab Dae Hyeong.
Dari luar, Bo Kyung mendengar semua percakapan mereka.
"Apa Ayah akan membunuh Yeon Woo?" tanya Bo Kyung ketika ayahnya keluar dari ruangan.
"Apa kau takut pada ayahmu?" tanya Dae Hyeong. "Atau merasa kasihan pada anak itu? Anak yang kau tanyakan itu.... ia akan mati jika waktunya tiba. Tapi tentu saja waktunya sudah ditentukan sesuai dengan rencana kita."
Bo Kyung hanya diam, menatap ayahnya dengan takut.
Dae Hyeong bercerita pada Bo Kyung bahwa dulu ia pernah direndahkan. Karena itulah ia berusaha untuk naik hingga ia bisa menjadi seperti sekarang ini. Ia memerintahkan Bo Kyung agar tidak memiliki rasa kasihan pada orang lain.
"Ini adalah pengaruh sihir." kata Nok Young.
Mulanya Young Jae tidak percaya, namun ia tidak bisa melakukan apapun. Penyakit putrinya memang aneh.
"Aku tidak tahu kenapa langit memilih putrimu." ujar Nok Young. "Mungkin langit marah karena ia menolak untuk menerimanya. Karena itulah ia jatuh sakit. Lalu bagaimana keputusanmu? Apakah kau mau menerima jimat?"
"Adakah cara untuk mematahkan sihir yang mengenai putriku?" tanya Young Jae.
"Ada satu solusi." ujar Nok Young. "Namun harus dibayar dengan kematian."
"Aku bersedia menyerahkan nyawaku." ujar Young Jae.
"Nona harus mengorbankan nyawanya sendiri." jawab Nok Young.
Young Jae terdiam.
Para pejabat kerajaan meminta petisi untuk menunjuk Putri Mahkota baru.
"Yoon Dae Hyeong!" seru Hwon marah seraya menggebrak meja.
Hwon berniat pergi menemui Raja, namun kasim memintanya untuk tenang.
Hwon kembali duduk, mencoba menenangkan diri.
"Aku sangat tidak berguna." keluhnya pada diri sendiri. "Putri Mahkota dipulangkan ke rumahnya. Guru Heo dilarang masuk ke istana hanya karena salah satu anggota keluarganya sakit. Pada saat-saat seperti ini, bahkan Kak Yang Myeong juga tidak ada. Di istana ini, aku tidak lagi punya siapapun di sisiku."
Mendadak Hwon terdiam, teringat bahwa ia masih memiliki seseorang.
Woon sedang berlatih bertarung dengan para pengawal. Teman-temannya kagum melihat keahlian Woon dalam memainkan pedang. Ia sungguh tidak ada tandingannya.
Hwon datang ke tempat Woon.
Dengan alasan karena permainan sepak bola waktu itu, ia mencari Woon.
"Kau pencetak gol terbanyak saat itu kan?" tanya Hwon pada salah seorang pengawal. Sengaja salah orang.
"Bukan." jawab pengawal itu. "Aku hanya dipenuhi ambisi untuk menang namun kemampuanku masih kurang."
"Lalu, apakah orang itu?" tanya Hwon, menunjuk orang lain.
Semua pengawal melirik ke arah Woon.
"Dia adalah Kim Je Woon." ujar para pengawal bersamaan.
Hwon kemudian menyuruh Woon dan salah seorang pengawal agar ikut dengannya.
Para pengawal yang lain hanya melongo menatap kepergian mereka.
"Bukankah pertandingan itu sudah lama?" tanya salah seorang pengawal dengan cemas.
"Apa mereka akan dikeluarkan karena masalah itu?" tanya pengawal yang lain waswas.
Malam itu, Yeon Woo tertidur namun tak nyenyak. Ia masih merintih kesakitan.
"Yeon Woo..." Samar-samar Yeon Woo mendengar suara Hwon memanggil. "Yeon Woo..."
Yeon Woo membuka matanya dan melihat Hwon di sampingnya.
"Apa kau mengenaliku?" tanya Hwon.
Yeon Woo hanya diam.
"Tidak apa-apa." ujar Hwon sedih. "Asalkan aku tetap bisa mengenalimu. Tidak apa-apa..."
Yeon Woo menutup matanya lagi.
Hwon terlihat cemas dan menyentuh lengan Yeon Woo. "Yeon Woo..." panggilnya.
Yeon membuka matanya lagi. "Apakah kau nyata?"
"Apa maksudmu?"
"Kau bukan khayalan?" tanya Yeon Woo. "Apa kau benar-benar..."
Yeon Woo dan Hwon tersenyum, namun meneteskan air mata.
"Aku bodoh, bukan?" tanya Hwon.
Hwon mengeluarkan tusuk kundai dan meletakkannya di tangan Yeon Woo.
"Apa ini?" tanya Yeon Woo.
"Ini adalah 'Bulan yang memeluk matahari'." jawab Hwon. "Jika Raja adalah Matahari, maka Ratu adalah Bulan. Ini adalah kundai phoenix yang melambangkan bulan putih yang memeluk matahari merah. Karena itulah aku memberinya nama 'Bulan yang memeluk matahari'."
Yeon Woo menatap kundai pemberian Hwon.
"Satu-satunya Putri Mahkota di hatiku adalah kau, Yeon Woo." ujar Hwon. "Jadi cepatlah sembuh dan kembali ke sisiku."
Yeon Woo tersenyum.
"Putra Mahkota, aku sangat minta maaf." kata Yeon Woo lemah. "Hari pertama aku bertemu denganmu, aku salah menyebutmu pencuri. Maafkan aku. Aku sangat kurang ajar dan bersikap tidak hormat padamu. Maafkan aku."
Hwon tersenyum.
"Semua ini adalah salahku." lanjut Yeon Woo. "Aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Jadi, apapun yang terjadi, mohon jangan salahkan dirimu sendiri."
"Seorang pria sejati tidak pernah melawan langit dan memendam dendam pada manusia." ujar Hwon, mengatakan perkataan yang dulu pernah dituliskan Yeon Woo dalam suratnya.
Yeon Woo tersenyum, sama halnya dengan Hwon.
"Putra Mahkota..." panggil Yeon Woo. "Aku... setelah bertemu denganmu, aku sangat bahagia."
Mendengat itu, Hwon ingin menangis. "Mulai saat ini, kau akan lebih bahagia." katanya. "Jangan katakan hal seperti itu."
Di luar, Woon berbincang dengan Yeom.
Rupanya Putra Mahkota memanggil Woon untuk mengawalnya ke rumah Yeon Woo.
Yeom heran kenapa Woon mau mengantar Hwon. "Ini tidak sepertimu." katanya.
Diam-diam, Seol mengintip mereka. Yeom dan Woon tersenyum.
"Anak itu mirip sepertimu ketika masih kecil." ujar Yeom. "Ada satu sisi pada dirinya yang menyukai pedang dan berpedang. Aku bisa merasakan dirimu pada dirinya."
Woon hanya tersenyum.
Woon mengantar Hwon pulang.
Dalam perjalanan, Hwon mengajak Woon berbincang.
"Namamu Kim Je Woon, bukan?" tanya Hwon. "Guru Heo dan Kak Yang Myeong memanggilmu Woon?"
"Benar." ujar Woon.
"Bolehkah aku memanggilmu Woon juga?" tanya Hwon.
"Terima kasih, Yang Mulia." ujar Woon seraya menunduk berterima kasih.
Hwon tersenyum ."Woon, terima kasih." katanya. "Aku selalu ingin melihat tempat dimana Putri Mahkota dilahirkan dan hidup. Putri Mahkota sangat menderita saat ini, tapi aku tidak bisa melakukan apapun untuknya."
"Putra Mahkota..."
"Menjadi Putra Mahkota... Karena aku adalah seorang Putra Mahkota..." Hwon tak kuasa menahan air matanya. "Aku sangat tidak berguna."
Woon merasa iba melihat Hwon.
Yang Myeong masih tidak mengetahui apa yang terjadi pada Yeon Woo. Dengan tenang, ia berjalan-jalan di kota.
Di kota, Yang Myeong malah adu gulat dengan rakyat setempat.
Di tengah pertandingan, ia teringat Yeon Woo. Ia diam dan membiarkan dirinya dipukuli habis-habisan.
Seusai adu gulat, Yang Myeong makan di kedai. Disana, ia mendengar percakapan rakyat yang mengeluh karena seseorang daro keluarga Yoon akan menjadi Putri Mahkota.
"Putri Mahkota yang sebenarnya dipaksa keluar dari istana karena terserang penyakit." ujar salah seorang pria. "Dia sudah tidak sadar selama dua hari. Ia hanya menunggu mati."
Yang Myeong terkejut mendengar kabar tersebut.
"Apa maksudmu?!" seru Yang Myeong seraya menarik baju pria itu. "Kau bilang Putri Mahkota akan mati?! APA MAKSUDMU?!"
Setelah mendengar berita tersebut, Yang Myeong langsung pergi ke Ibu Kota.
Young Jae memerintahkan Yeom menyingkir dari Ibu Kota.
"Aku memerintahkanmu untuk pergi ke rumah pamanmu selama beberapa waktu untuk menghindari tularan penyakit." kata Young Jae.
"Ayah..."
"Kau adalah putra sulung keluarga ini sekaligus tangan kanan Putra Mahkota." lanjut Young Jae.
"Yeon Woo sedang berada di jurang kematian." protes Yeom. "Bagaimana mungkin kau menyuruhku pergi pada saat-saat seperti ini?"
"Pergilah."
"Aku tidak bisa." tolak Yeom. "Paling tidak, aku ingin tahu penyakit macam apa yang diderita Yeon Woo!"
"Semua tabib saja tidak tahu, bagaimana aku bisa tahu!" seru Young Jae.
"Aku sudah mencari di buku dan aku sudah menemukannya." kata Yeom.
"Ingat kalau kau adalah mentor Putra Mahkota!"
"Melindungi adikku saja aku tidak bisa, bagaimana mungkin aku membantu Putra Mahkota?" seru Yeom.
"Untuk seseorang yang sudah membaca ratusan buku, bagaimana bisa kau menjadi seseorang yang berpikiran pendek?!" seru Young Jae, meledak marah. "Siapa yang akan membantu Putra Mahkota dimasa depan? Kau! Kaulah orang yang akan membantunya! Inilah satu-satunya cara agar kau dan Yeon Woo bisa membayar kebaikan Raja dan aku sebagai ayah kalian. Pergilah."
Yeom sangat terpukul.
Yeom dipaksa pergi dari Ibu Kota.
Seol mengantar kepergiannya diam-diam, namun Yeom melihatnya.
"Seol, aku butuh bantuanmu." kata Yeom. "Karena Yeon Woo sedang tidur, aku tidak ingin membangunkannya. Jika Yeon Woo ingin bertemu denganku, tulislah surat untukku... Tapi kau tidak bisa menulis..." Ia berpikir sejenak. "Kirim saja seseorang untuk memberitahu aku..."
"Aku bisa menulis." potong Seol. "Nona yang mengajariku."
Yeom tersenyum. "Dengan adanya kau disisi Yeon Woo, aku merasa lega." ujarnya. "Ketika aku tidak ada, kau harus menjaga Yeon Woo."
Seol menangis.
Yeom mengusap rambut Seol. "Aku bergantung padamu, Seol."
Seol mengangguk.
Yeom berjalan pergi.
Seol berjalan masuk ke dalam rumah. Young Jae sedang bicara pada seseorang.
"Seol, kau akan pergi dengan pria ini." kata Young Jae. "Dia akan mengantarmu pada majikanmu yang baru."
"Tuan!" seru Seol terkejut.
"Dia adalah pelayan kesayangan putriku." ujar Young Jae pada pria itu. "Jangan biarkan ia bekerja terlalu keras."
Seol menangis dan berlutut di hadapan Young Jae. "Apa aku melakukan kesalahan, Tuan? Aku akan berubah. Tolong jangan jual aku pada orang lain. Aku tidak akan makan banyak. Tolong izinkan aku berada disisi nona. Aku berjanji pada Tuan Muda untuk menjaga nona, jadi tolong jangan..."
Young Jae menyentuh tangan Seol.
"Jika nona sudah sembuh, aku akan menjemputmu lagi." kata Young Jae. "Untuk saat ini, dengarkan permintaanku."
Di dalam kamar, Yeon Woo mulai kesulitan bernafas lagi. Ibunya sangat cemas dan memeluk putrinya.
Young Jae masuk ke dalam kamar dengan panik.
Yeon Woo memuntahkan darah.
"Jika ia masih hidup, tidak ada cara untuk mengeluarkan roh." Young Jae teringat perkataan Nok Young.
"Kau menyuruhku membunuh putriku sendiri?" tanya Young Jae.
"Satu-satunya cara untuk mengeluarkan roh adalah setelah ia mati agar rasa sakitnya berkurang.." jawab Nok Young.
Young Jae akhirnya membuat keputusan.
"Aku ingin menanyakan satu hal padamu." ujar Young Jae pada Nok Young. "Jika ia menggunakan obat itu, apakah rasa sakitnya akan berkurang?"
"Ya." jawab Nok Young.
"Benarkah roh itu bisa dikeluarkan dan membuat Yeon Woo tenang?" tanya Young Jae lagi.
"Aku bisa menjamin." jawab Nok Young.
"Tuan Heo, maafkan aku." ujar Nok Young dalam hati setelah berjalan pergi. "Aku akan menggunakan hidupku untuk menebus dosa ini."
Pagi itu, Young Jae meramukan obat untuk putrinya.
Yeon Woo tahu kalau hidupnya tidak akan lama lagi. Ia berusaha bangkit dari tidurnya untuk menulis surat.
"Putra Mahkota, aku menggunakan tenagaku yang tersisa untuk menulis surat ini."
Hwon terbangun dari tidurnya. Ia melihat Yeon Woo sedang duduk di dekat jendela sambil melihat pot tanaman yang ia berikan untuk Hwon.
Hwon tersenyum melihat Yeon Woo. "Apa kau sudah sembuh?" tanyanya.
"Apakah kau tahu kenapa aku memberikan tanaman ini padamu, Putra Mahkota?" tanya Yeon Woo. "Sebenarnya, aku punya maksud rahasia. Aku berharap kau penasaran akan tumbuh menjadi apa tanaman ini. Jika kau penasaran, maka kau akan mengirim surat padaku."
"Itu artinya, kau selalu menunggu surat dariku?" tanya Hwon.
Yeon Woo mengangguk.
"Seharusnya kau mengatakan itu dari dulu." protes Hwon. "Aku selalu merasa kau menghindariku."
"Putra Mahkota..." panggil Yeon Woo seraya bangkit dan memberi hormat pada Hwon. "Semoga kau selalu sehat dan damai."
Hwon terbangun. Rupanya itu hanya mimpi.
Yeon Woo selesai menulis surat. Dengan lemah, ia merangkak menuju peti di kamarnya dan menyimpan surat itu disana.
Yeon Woo kembali memejamkan mata dan tidur.
Tidak lama kemudian, Young Jae masuk ke kamar Yeon Woo.
"Yeon Woo, bangun." ujarnya. "Ini waktunya untuk minum obat."
Yeon membuka matanya.
"Yeon Woo, aku ingin minta maaf." kata Young Jae. "Banyak sekali hal yang membuatku merasa menyesal. Jika tahu akan seperti ini, seharusnya aku mengizinkanmu belajar apapun yang kau mau. Seharusnya aku membiarkanmu melakukan apapun yang kau inginkan."
Young Jae tak kuasa menahan air matanya.
"Ayah, cepat berikan obat itu padaku." ujar Yeon Woo lemah.
Young Jae terkejut mendengar permintaan putrinya.
"Setelah minum obat itu, aku tidak akan jatuh sakit lagi." ujar Yeon Woo.
Tangan Young Jae bergetar. Perlahan, ia meminumkan obat tersebut pada Yeon Woo.
"Obat ini pahit, bukan?" tanya Young Jae, menangis.
"Sangat pahit."
"Ayah akan memelukmu sampai kau tertidur." tangis Young Jae, memeluk erat putrinya.
"Pelukan ayah seperti pelukan kakak." gumam Yeon Woo.
Young Jae merasakan kundai phoenix di dada Yeon Woo.
"Aku ingin tidur bersama benda ini." gumam Yeon Woo. "Tolong biarkan aku memilikinya."
"Yeon Woo..."
"Ayah, aku merasakan mataku berat." ujar Yeon Woo. "Aku akan tidur sekarang."
Yeon Woo menutup matanya.
Young Jae menangis keras. "Maafkan aku, Yeon Woo!"
Yeon Woo meninggal dunia.
"Yeon Woo!" teriak Young Jae histeris.
Mendengar teriakan suaminya, ibu Yeon Woo bergegas menuju kamar. Disana, ia sudah menemukan putri kesayangannya meninggal.
Hwon sangat terpukul mendengar berita kematian Yeon Woo. Ia berusaha keluar, namun pengawal langsung menangkap dan membawanya kembali ke kamar.
"Lepaskan aku!" teriak Hwon. "Aku harus mengatakan sesuatu pada Putri Mahkota! Lepaskan aku! Yeon Woo! Yeon Woo!"
Hwon terus menjerit-jerit dan menangis histeris.
Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar