Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 1
Sinopsis The Moon That Embraces The Sun episode 1 -
"Dahulu, ada dua buah matahari dan bulan di langit. Tapi itu menyebabkan siang hari terasa sangat panas dan malah hari terasa sangat dingin. Semua makhluk jatuh dalam kekacauan dan kesengsaraan. Lalu seorang pahlawan muncul. Ia menggunakan panah untuk menembak satu matahari dan satu bulan. Semenjak itu, dunia menjadi damai."
Itu adalah sebuah cerita yang diceritakan Ibu Suri pada salah seorang pengikut sekaligus keponakannya, Yoon Dae Hyeong. Ibu suri adalah Ibu dari Raja Seong Jo, Raja saat itu dan merupakan Raja fiksi Joseon.
"Yang Mulia sangat menyukai Pangeran Uiseong." ujar Ibu Suri. "Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita hanya akan duduk diam dan menunggu pehlawan itu datang?"
"Hamba tidak mengerti maksud Yang Mulia." ujar Dae Hyeong.
"Hanya ada satu matahari." lanjut Ibu Suri. "Dan hanya ada satu tahta. Kau harus menjadi pahlawan itu. Pangeran Uiseong adalah pemimpin fraksi yang kuat. Keberadaannya mengancam tahta Yang Mulia. Jadi kau harus menghabisinya."
Malam itu, sekelompok penyelundup suruhan Dae Hyeong mengendap-endap masuk ke halaman rumah Uiseong. Para penyelundup itu menempelkan jimat dan mengubur sesuatu di tanah. Kelihatannya mereka memiliki maksud tertentu, yakni menfitnah seseorang atas kejahatan yang hendak mereka lakukan.
Ketika seorang penyelundup masuk ke rumah, seorang pria mengarahkan pedang ke lehernya. Pria tersebut tidak lain adalah Pangeran Uiseong, adik dari Raja Seong Jo.
"Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Uiseong.
Si penjahat sengaja menjatuhkan senjatanya untuk mengalihkan perhatian Uiseong, kemudian langsung menyerangnya.
Terjadi perkelahian singkat.
Si penyelundup kemudian melemparkan panah beracun ke lengan Uiseong.
Di saat yang sama di tempat lain, seorang peramal terbangun dari tidurnya dengan terkejut.
Shaman sebenarnya adalah dukun/peramal/ahli roh. Namun aku agak tidak suka menyebut dukun. Jadi disini, aku akan memanggil mereka dengan sebutan 'peramal' saja.
"Ada aura pembunuh." ujarnya, hendak bangkit.
Namun temannya, Jang Nok Young, melarang. "Walaupun begitu, kau tidak bisa melakukan apa-apa."
"Aku tetap harus melihat." bantah wanita itu. "Orang itu... orang itu dalam bahaya."
"Ari!" seru temannya cemas.
Ari berlari dengan cemas dan takut. Nok Young berusaha mengejar dan melarangnya pergi, namun Ari tetap berlari dengan cepat.
Mendadak Ari berhenti berlari karena merasakan sesuatu. Ia menatap ke bulan yang mendadak menghilang dibalik awan dan muncul lagi dengan terang.
Di sisi lain, Uiseong sedang bertarung habis-habisan melawan para pembunuh. Namun sayang ia kalah jumlah.
Ketika seorang pembunuh mengangkat pedangnya ke arah Uiseong, mendadak seseorang datang.
"Hentikan!" seru pria itu.
Uiseong mendongak dan melihat Dae Hyeong berdiri di hadapannya.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Pangeran Uiseong." kata Dae Hyeong, tersenyum licik.
"Dulu kau sering mengunjungi rumahku." kata Uiseong. "Sebelumnya kau ingin memperalatku sebagai pemimpin untuk memperoleh kekuasaan. Kelihatannya sekarang kau sudah mengubah pikiranmu. Atau kau sudah menemukan orang lain?"
"Benar, aku sudah menemukan orang lain." ujar Dae Hyeong. "Suatu saat nanti, aku akan menjadi tangan kanan Yang Mulia."
"Yang Mulia tidak akan tertipu oleh pengkhianat sepertimu!" seru Uiseong marah. "Kita lihat saja apakah Yang Mulia akan percaya padamu!"
"Tapi sayang sekali kau tidak akan bisa bertemu Yang Mulia lagi." Dae Hyeong berkata seraya tersenyum kejam.
Di tempat lain, seorang pria tewas terbunuh. Ia mati seakan-akan gantung diri. Di atas mejanya, si pembunuh meninggalkan sebuah surat. Pria itu tidak lain adalah sahabat Uiseong.
"Ini adalah perintah ibu suri." ujar Dae Hyeong.
Dae Hyeong membunuh Uiseong.
Di balik dinding pagar, Ari melihat semua kejahatan itu.
Bayangan Ari terpantul di pedang Dae Hyeong.
"Kejar dia!" perintah Dae Hyeong pada anak buahnya.
Ari berlari melewati hutan, berusaha kabur dari kejaran para penyelundup. Namun sayang ia menemui jalan buntu. Di depannya adalah jurang.
Para penyelundup semakin mendekat. Ari semakin terpojok ke pinggir jurang. Tanpa sengaja, kaki Ari terpeleset dan ia jatuh ke jurang.
Para penyelundup memutar untuk turun ke jurang. Seorang penyelundup menemukan pita milik Ari.
"Ini adalah milik peramal di balai samawi." ujar penyelundup, mengamati pita itu. "Jika ia masih hidup, bunuh dia. Jika ia mati, temukan mayatnya!"
Di balai Samawi, Ketua peramal mengetahui kalau Ari menghilang dan menanyakan keberadaannya.
"Dimana Ari?" tanyanya pada Nok Young.
Nok Young menjawab ragu, "Itu..."
Dae Hyeong menyerahkan pita milik Ari pada Ibu Suri.
Dengan mudah, ibu suri bisa menebak bahwa pita itu adalah milik Ari.
Ari memiliki kemampuan luar biasa sebagai peramal dan dicalonkan menjadi pemimpin balai samawi berikutnya.
"Percintaan antara peramal dan keluarga kerajaan..." gumam Ibu Suri, tertawa merendahkan. "Kelihatannya Dewa sedang membantu kita."
"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" tanya Dae Hyeong.
"Anak itu... Ari... Dulu adalah pelayan di rumah Pangeran Uiseong." ujar Ibu Suri. "Mereka berdua terlibat percintaan. Aku yakin orang-orang di rumah itu tahu."
"Bukankah itu lebih berbahaya?" tanya Dae Hyeong.
"Kenapa?"
"Seorang gadis rela mati demi cintanya." ujar Dae Hyeong. "Itulah yang disebut cinta oleh para wanita. Dia sudah melihat semua kejadian itu. Bukan hal mustahil jika ia berani mempertaruhkan hidupnya dengan datang ke istana. Jika kita tidak segera menghabisinya..."
"Gadis itu..." potong Ibu Suri. "Berharap bahwa pria yang ia cintai memperoleh tahta. Agar harapannya bisa terpenuhi, ia menggunakan jimat."
"Tapi kita tidak punya bukti." ujar Dae Hyeong.
"Ketua balai samawi adalah orang kepercayaanku." kata Ibu Suri. "Tidak ada masalah, bukan? Segera bertindak!"
Pengawal kerajaan akhirnya mengetahui kalau dua orang anggota kerajaan tewas malam itu.
Pengawal menyerahkan surat teman Uiseong pada Raja Seong Jo.
Dalam surat tersebut dikatakan kalau teman Uiseong mati bunuh diri untuk menebus kejahatannya karena sudah mencoba memberontak. Malam itu, Uiseong dan temannya dinyatakan sebagai pengkhianat.
Raja Seong Jo menunduk sedih.
Tidak lama kemudian, Ketua Balai Samawi masuk ke ruangan bersama dengan Dae Hyeong. Raja Seong Jo meminta penjelasan mengenai jimat yang ditemukannya di rumah Uiseong.
Ketua Balai Samawi melirik sekilas ke arah Dae Seong, kemudian menjawab, "Jimat itu akan menguatkan kekuasaan sang matahari."
"Benarkah?" tanya Raja Seong Jo.
"Hamba tidak berani berkata bohong." jawab Ketua Balai Samawi.
"Lalu siapa yang memiliki jimat ini?" tanya Pengawal.
"Jimat itu milik Ari, seorang peramal dari Balai Samawi." Ketua Balai Samawi menjawab tanpa ragu.
Raja kemudian memerintahkan pengawalnya untuk mencari Ari.
Siang itu, sebuah rombongan kecil melewati hutan.
Pelayan wanita dari rombongan itu berteriak histeris ketika melihat Ari terjatuh di tanah dalam keadaan sekarat.
"Ada apa?" tanya Nyonya dari dalam tandu. "Kenapa kau berteriak?"
Nyonya itu adalah Shin Jung Kyung.
Nyonya Shin keluar dari dalam tandu. Saat itu ia sedang mengandung.
Nyonya Shin terkejut melihat Ari dan langsung menolongnya tanpa berpikir panjang.
Tandu hendak masuk melewati gerbang Ibu Kota, namun mendadak rombongan mereka dihentikan oleh penjaga.
"Kenapa kau menghentikan kami?" tanya pelayan.
"Kami sedang mencari buronan." jawab penjaga.
Pelayan melihat lukisan buronan yang dimaksud. Buronan tersebut tidak lain adalah Ari, wanita yang tadi ditolong oleh majikannya.
Dengan paksa, si penjaga membuka jendela tandu dan melihat Nyonya Shinyang sedang hamil. Diam-diam, Nyonya Shin menyembunyikan Ari dibalik gaunnya.
"Aku baru saja kembali setelah berdoa untuk janinku." ujar Nyonya Shin. "Aku sedang kelelahan. Jika kau mencurigai sesuatu, tolong ikut saja aku ke rumah."
Penjaga diam sejenak. "Maafkan kelancanganku." ujarnya seraya menutup jendela.
Untuk sementara, Ari selamat.
Tandu berjalan pergi. Di tanah, terdapat ceceran darah. Darah itu berasal dari dalam tandu.
"Berhenti!" seru penjaga, menghentikan tandu Nyonya Shin. "Tolong keluar dari tandu."
Jendela dibuka dan si penjaga melihat gaun Nyonya Shin dipenuhi darah. Si nyonya merintih kesakitan.
Pelayan berteriak panik. "Darah! Darah!"
Pelayan memohon pada penjaga untuk melepaskan mereka karena majikannya berada dalam bahaya.
"Bayi ini adalah anggota kedutaan!" seru Pelayan. "Jika terjadi sesuatu, apa kau mau bertanggung jawab?!"
Penjaga akhirnya membiarkan mereka lewat.
Ari berterima kasih pada Nyonya Shin karena telah menolongnya.
"Bukan aku, tapi bayikulah yang menyelamatkanmu." ujar Nyonya Shin ramah.
"Bayimu adalah perempuan yang sangat cantik seperti bulan." ujar Ari.
"Jadi bayi ini perempuan?"
"Benar." jawab Ari.
"Jadi kau adalah seorang peramal." kata Nyonya Shin. "Aku ingin bayiku memperoleh sedikit energi spiritual. Ini benar-benar kebetulan."
"Ya, ini adalah takdirnya untuk menjadi seseorang yang bermartabat." ujar Ari.
Ari memperoleh kilasan-kilasan bayangan mengenai masa depan si bayi. Dimulai dengan pertemuan dengan seorang Putra Mahkota, menjadi Putri Mahkota, dan berakhir dengan tumpukan tanah seperti kuburan.
Ari sadar bahwa nasib bayi itu akan buruk.
"Nyonya, walaupun aku mati, aku akan melindungi putrimu." janji Ari pada Nyonya Shin .
Nyonya Shin tersenyum dan menunduk berterima kasih.
Mereka berpisah.
Tidak lama berjalan, Ari dikepung dan berhasil ditangkap.
Ari disiksa habis-habisan.
Nok Young, menatapnya takut dan kasihan, namun tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong. Ia menatap Ketua Balai Samawi, namun si Ketua membuang muka.
Dae Hyeong menanyakan mengenai jimat yang ditemukan di kediaman Uiseong. Namun Ari bersikeras bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai jimat tersebut.
"Ini adalah bukti kerjasamamu dengan para pengkhianat itu!" seru Dae Hyeong. "Kau masih berani menyangkal!"
Mendadak Ari berubah marah.
"Pengkhianat, katamu?" tanya Ari. "Dan itu adalah bukti yang tertinggal? Kau pikir akulah satu-satunya orang yang menyaksikan semua kejadian itu, bukan? Kau pikir semua akan berakhir begitu kau melenyapkan aku, bukan? Kau salah besar! Bulan sedang melihatmu! Darah orang itu bukanlah satu-satunya yang mengenai pedangmu malam itu! Malam itu juga ada cahaya bulan! Tunggu dan lihat saja! Suatu saat nanti, semua kejahatanmu akan terbongkar! Suatu hari nanti, cahaya bulan akan mengakhiri hidupmu yang menyedihkan!"
Setelah disiksa habis-habisan, Ari dilempar ke dalam penjara.
Nok Young mengunjunginya.
Disanalah Ari meminta sahabatnya itu untuk melindunyi bayi Nyonya Shin.
"Walaupun berada dekat dengan matahari akan mendatangkan bencana, namun takdirnya adalah berada disisi matahari dan melindunginya." kata Ari. "Tolong pastikan saja bahwa anak itu selamat. Lindungi dia demi aku."
"Siapa anak yang harus kulindungi?" tanya Nok Young.
Belum sempat Ari menjawab, penjaga penjara sudah menarik Nok Young pergi.
Keesokkan harinya, Ari akan dieksekusi hukuman mati.
Sebelum mati, Ari melihat dua matahari dan satu bulan.
"Kalian bertiga... jaga diri kalian." ujar Ari dalam hati.
Ari tewas.
Disaat yang sama di tempat yang berbeda, seorang bayi perempuan lahir.
Bayi itu diberi nama Heo Yeon Woo.
Beberapa tahun kemudian.
Istana sedang disibukkan oleh persiapan pesta perayaan.
Para pelayan mendadak panik karena banyak buah yang menghilang secara tiba-tiba.
Disisi lain, seorang kasim datang untuk menjemput Putra Mahkota agar datang ke pesta perayaan. Betapa kagetnya kasim melihat kamar Putra Mahkota kosong.
Saat itu, sang Putra Mahkota sepertinya sedang merencanakan kenakalan yang akan dilakukannya. Kelihatannya berniat kabur dari istana.
Tanpa disangka-sangka, Yeon Woo dan ibunya juga akan datang ke pesta perayaan di istana untuk melihat kakak Yeon Woo, Yeom.
Rupanya hari itu akan diadakan penanugerahan untuk juara ujian negara. Para pelajar dari berbagai pelosok datang untuk menyaksikan pemberian penghargaan tersebut, termasuk Heo Yeom dan Kim Je Woon.
Yeom adalah kakak kandung Yeon Woo, sementara Woon (bersama dengan Pangeran Yang Myeong) adalah murid dari ayah Yeon Woo.
Yeom dinobatkan sebagai juara nomor satu dalam bidang akademik sementara Woon dinobatkan menjadi juara nomor satu dalam bidang beladiri.
Raja Seong Jo datang ke tempat diadakan penganugerahan untuk juara ujian negara. Semua orang bersujud memberi hormat padanya.
Mendadak seekor kupu-kupu kuning terbang dan hinggap di bahu Yeon Woo, kemudian terbang lagi.
Hwon, si Putra Mahkota nakal, keluar dari ruangan. Panas matahari terasa menyengat.
"Kulitku tidak boleh terbakar." ujarnya seraya membuka sebuah payung untuk melindungi kulitnya dari sengatan matahari.
Ibu Yeon Woo menatap putranya dengan bangga. Ia juga sangat senang melihat wajah suaminya yang berseri. Karena keasikan menonton, ia sampai tidak sadar kalau Yeon Woo menghilang.
Yeon Woo berjalan mengikuti kupu-kupu kuning.
Di lain pihak, Hwon menaiki tangga, hendak melompat keluar. Tanpa sengaja ia menoleh dan melihat Yeon Woo.
Hwon terpana.
Kupu-kupu kuning menghantarkan Yeon Woo pada Hwon.
Hwon berusaha terdasar dari lamunannya. Namun ia malah terpeleset dari tangga dan terjatuh menimpa Yeon Woo. Payung merah Hwon melayang dan jatuh tepat di atas mereka.
Payung itu kemudian terbang tertiup angin.
Hwon dan Yeon Woo kaget karena mereka terjatuh bersama dalam posisi yang... hmm... dewasa, mungkin. Setelah sadar dari rasa terkejut, mereka buru-buru bangkit.
"Melihat pakaianmu, sepertinya kau bukan pelayan istana." kata Hwon dengan nada sok berkuasa. "Kenapa kau ada diistana?"
"Kenapa kau memanjat dinding?" Yeon Woo balik bertanya.
"Akulah yang boleh bertanya, jadi cepat jawab!" seru Hwon. "Apa kau tidak tahu kalau melanggar aturan istana adalah kejahatan besar?"
Yeon Woo menatap Hwon dengan kesal.
"Aku kemari untuk menonton kakakku menerima penganugerahan pelajar akademik terbaik." jawab Yeon Woo.
"Kau pikir aku akan percaya?"
"Percaya atau tidak itu terserah padamu." kata Yeon Woo. "Tapi aku tidak bisa tinggal diam melihat seseorang berusaha mencuri sesuatu dari istana. Aku akan memanggil penjaga sekarang."
Yeon Woo beranjak pergi, namun Hwon menarik lengannya.
"Kau bilang aku ini pencuri?" tanya Hwon.
Yeon Woo menunjuk tas yang dijatuhkan Hwon di tanah.
"Aku... aku sedang mencari jalan keluar." ujar Hwon, mencari alasan. "Aku juga datang untuk menyaksikan penganugerahan militer kakakku."
Hwon meraih tasnya, namun malang barang-barang di dalam tasnya terjatuh. Isinya adalah uang dan perhiasan.
Hwon berusaha memberi penjelasan lagi, tapi Yeon Woo malah berteriak-teriak memanggil penjaga.
Hwon menutup mulut Yeon Woo dan menariknya pergi.
Hwon dan Yeon Woo berdebat mulut sejenak mengenai umur. Hwon berhasil menjebak Yeon Woo dan mengetahui kalau umur Yeon Woo adalah 13 tahun. Hwon lebih tua 2 tahun dari Yeon Woo.
Yeon Woo hendak pergi memanggil penjaga, namun lagi-lagi Hwon menariknya.
"Sudah kubilang aku datang untuk menghadiri penganugerahan militer kakakku." kata Hwon berbohong.
"Orang yang mendapat penganugeran militer itu adalah sahabat kakaku." kata Yeon Woo. "Aku tidak pernah mendengar kalau dia punya adik."
"Be... benarkah? Benarkah dia tidak punya adik?" tanya Hwon terbata.
Hwon akhirnya bercerita alasannya memanjat dinding.
"Aku ingin mencari kakakku." ujar Hwon.
Tentu saja Yeon Woo tidak semudah itu percaya.
"Aku dan kakakku memiliki ayah yang sama, namun ibu yang berbeda." kata Hwon bercerita. "Namun ia selalu memperlakukan aku dengan baik. Walaupun ia pandai dalam segi akademik dan militer, tapi ia tidak bisa berpartisipasi dalam ujian negara. Walaupun ia memiliki potensi, ia tidak bisa menjadi pejabat negara. Walaupun ia menghormati dan menyayangi ayah, tapi ia tidak bisa menerima kasih sayang ayah. Walaupun ia menerima cinta dari banyak orang, tapi ia tidak bisa muncul di hadapan banyak orang."
"Kakak hidup seperti itu karena aku." ujar Hwon sedih. "Dia mungkin takut disalahkan oleh ayah, jadi ia pergi dan tidak menemuiku lagi. Oleh karena itu, aku ingin pergi dan mencarinya. Kau mengerti sekarang?"
"Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri?" tanya Yeon Woo.
"Apa?"
"Kau menjadi anak emas atau kakakmu yang tidak diakui, bukanlah sesuatu yang bisa kalian pilih." kata Yeon Woo. "Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri? Jika kakakmu memang benar-benar menyayangimu, ia pasti tidak akan menyalahkanmu. Tapi, bukankah biasanya hal itu diputuskan oleh Yang Mulia Raja?"
Yeon Woo malah asik mengoceh sendiri mengenai aturan-aturan negara yang tidak ia setujui.
Yeon Woo segera menutup mulutnya ketika sadar bahwa ucapan kelewatan.
Hwon mengancam akan melapor pada penjaga. Yeon Woo memohon agar Hwon tidak melakukannya.
Yeon Woo juga tetap tidak percaya kalau Hwon bukan pencuri.
"Apa kau tidak tahu kalau aku adalah..." Hwon ragu sejenak. Ia tidak kuasa menyebut kata itu. Kata 'Putra Mahkota' terlalu berat untuk diucapkan. "Apa kau tidak tahu kalau aku adalah... pejabat Joseon?"
Hwon mengernyit, tahu bahwa kali ini Yeon Woo akan tambah tidak percaya.
Tapi Yeon Woo malah percaya. Ia dan Hwon berjalan bersama kembali ke dalam halaman istana.
Nyonya Shin sangat cemas mencari-cari putrinya. Ia bahkan sampai melapor ke penjaga.
Diam-diam, Hwon berbisik pada penjaga agar tidak mengungkapkan identitasnya pada Yeon Woo.
"Aku sudah mengakui kejahatanku pada penjaga." Hwon berbohong pada Yeon Woo. Ia kemudian berpaling pada penjaga. "Aku mencuri beberapa uang dan perhiasan. Aku akan ikut denganmu."
Yeon Woo hanya diam, memandang kepergian Hwon.
Yeon Woo dan ibunya hendak pulang.
Mendadak, seorang pelayan istana keluar dan menyerahkan sesuatu pada Yeon Woo. Itu adalah sebuah surat dari Hwon. Selain menyerahkan surat itu, ia juga berpesan sesuatu untuk Yeon Woo, "Berhati-hatilah jika berjalan pada malam hari."
Yeon Woo tersenyum. "Jika ia berkata begitu, seharusnya ia memang bukan orang jahat."
Raja Seong Jo memarahi Hwon karena mencoba melarikan diri dari istana.
"Aku hanya ingin menemui Kak Yang Myeong untuk membicarakan sebuah buku." jawab Hwon datar.
"Kalau kau ingin menanyakan masalah buku, tanyakan saja pada gurumu!" bentak Raja.
"Maaf, aku tidak bisa belajar pada mereka." bantah Hwon. "Aku hanya bisa belajar dari Kakak."
"Jadi karena itu kau ingin melarikan diri dari istana?!" bentak Raja marah. Ia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga Hwon lebih ketat.
Ibu Suri dan Dae Hyeong membahas mengenai calon mentor yang akan mendidik Hwon.
"Aku sangat khawatir." kata Ibu Suri. "Ini adalah posisi yang sangat penting agar penerusku bisa dididik."
"Aku akan menyiapkan segalanya." ujar Dae Hyeong.
"Putra Mahkota akan menjadi Raja masa depan." ujar Ibu Suri. "Demi masa depannya sendiri, masih banyak hal yang harus kita lakukan."
Ratu So Hye memohon pada Raja agar mengizinkan Yang Myeong keluar masuk istana dengan bebas.
"Pangeran Yang Myeng belum menikah, namun Yang Mulia sudah menyuruhnya keluar istana." kata Ratu. "Jika Pangeran Yang Myeong tidak kembali, aku takut Putra Mahkota akan..."
Raja memotong perkataan Ratu dengan marah. Raja menolak mentah-mentah usulan Ratu.
Ratu keluar dan mengatakan pada Ibu Yang Myeong bahwa Raja menolak permintaannya.
Setelah melakukan perjalanan, Yang Myeong kembali ke ibu kota. Ia pergi ke pasar menjual burung tangkapannya.
"Aku ingin membelikan hadiah untuk teman-temanku dengan uang itu." kata Yang Myeong pada seorang pria.
Tidak jauh dari sana, Yang Myeong melihat sebuah antrian panjang. Orang-orang itu mengantri untuk mendapatkan batu ajaib yang dipercaya bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Si penjual mengatakan bahwa batu itu adalah batu yang diberi kekuatan spiritual oleh seorang peramal berusia 8 tahun dan memiliki kekuatan spiritual seperti Jang Nok Yeong.
Yang Myeong tersenyum. "Kebetulan sekali aku sedang pusing memikirkan hadiah apa yang bisa kuberikan untuk teman-temanku."
Dengan bersemangat, Yang Myeong berebut batu itu bersama orang-orang lain.
Dari kejauhan, Jang Nok Yeong mengamati keramaian itu. Rupanya si penjual berusaha menipu orang-orang dengan mengatasnamakan peramal.
Disanalah Nok Yeong melihat Yang Myeong untuk pertama kalinya.
Ia teringat perkataan Ari. "Joseon memiliki dua matahari."
Yang Myeong mengantri untuk mendapatkan batu dari peramal cilik.
Yang Myeong melihat bibir si peramal. Bibirnya kering dan ia kelihatan sengsara. Ia sadar kalau anak itu sudah menjadi korban eksploitasi anak-anak dan diperalat untuk menipu.
"Aku lapar." bisik anak itu ada si pria. Namun pria itu malah mencobit peramal cilik.
Yang Myeong meledak marah. "Tidakkah kau mendengar kalau ia kelaparan?!" serunya. Ia juga melihat kalau seluruh tubuh anak itu dipenuhi luka memar akibat siksaan.
Penipuan itu berhasil dibongkar oleh Yang Myeong. Para pelanggan mengamuk.
Di antara kericuhan itu, Yang Myeong membopong dan hendak membawa si anak ke tabib.
Di tengah jalan menuju tabib, Yang Myeong dikepung oleh sekelompok orang.
Seorang pria merebut si anak dari Yang Myeong dengan paksa, namun Nok Yeong menghadang jalannya. Nok Yeong membawa banyak penjaga bersamanya.
Para pria hendak menghajar Yang Myeong.
"Jika kau berani macam-macam padaku, kalian akan membayar akibatnya!" ancam Yang Myeong.
Para pria itu tidak peduli dan terus memukuli Yang Myeong.
"Guru beladiriku adalah juara ujian negara." kata Yang Myeong.
"Kalau begitu, ayahku adalah Raja!" seru pria itu seraya memukul Yang Myeong lagi.
Yang Myeong jatuh terjerembab ke tanah tanpa perlawanan.
Ia menarik napas dalam dan bangkit dengan cepat. Sudah habis kesabarannya.
"Aku kenal siapa Raja." katanya. "Dan ia tidak pernah mengatakan kalau ia memiliki anak sepertimu!"
Yang Myeong menghajar para pria itu dan berhasil mengalahkan mereka dengan mudah.
Yang Myeong menatap istana dari kejauhan.
"Yang Mulia, pengabdi setiamu sudah kembali." ujarnya dalam hati. "Maafkan aku karena belum sempat memberi hormat. Putra Mahkota, apa saja yang kau lakukan selama ini?"
Kasim, para penjaga dan para dayang mengawal Hwon dengan ketat kemanapun Hwon pergi.
"Aku tidak akan kabur." kata Hwon kesal pada mereka. "Berikan aku ketenangan."
Mendadak, kelopak-kelopak bunga berguguran. Hwon teringat pada pertemuannya dengan Yeon Woo.
Hwon tersenyum. "Jika kau tahu kalau aku Putra Mahkota, kau pasti akan lebih mengomel lagi." gumamnya. "Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi."
Hwon terkejut melihat payung merahnya melayang-layang di udara.
Di sisi lain, Yeon Woo membaca surat dari Hwon.
Hwon menulis teka-teki yang sulit ditebak oleh Hwon. Ia kemudian bertanya pada Seol, pelayannya. Namun tentu saja Seol tidak mengerti.
Yang Myeong berjalan perlahan, kemudian memanjat dinding. Ia tersenyum seraya menatap sebuah rumah.
Dari dalam rumah itu, Yeon Woo berjalan keluar.
Yang Myeong terkejut.
Yeon Woo masih berkutat memikirkan teka-teki dari Hwon.
Yang Myeong memperhatikannya dari jauh.
Yeon Woo berpikir dan terus berpikir. Akhirnya ia berhasil mengetahui bahwa jawaban teka-teki dari Hwon adalah matahari. Yeon Woo tahu dengan pasti apa arti matahari. Matahari mengisyaratkan Raja/Putra Mahkota.
Yeon Woo terduduk di tanah dengan shock.
Hwon tersenyum melihat payungnya. "Apakah ini artinya... aku bisa bertemu denganmu lagi?" pikirnya dalam hati.
"Putra Mahkota, apa kau tahu?" pikir Yeon Woo dalam hati. "Bagiku, ini adalah sebuah keberuntungan."
Yang Myeong menatap Yeon Woo. "Aku benar-benar senang bisa melihatmu lagi, Heo Yeon Woo." katanya dalam hati.
"Dahulu, ada dua buah matahari dan bulan di langit. Tapi itu menyebabkan siang hari terasa sangat panas dan malah hari terasa sangat dingin. Semua makhluk jatuh dalam kekacauan dan kesengsaraan. Lalu seorang pahlawan muncul. Ia menggunakan panah untuk menembak satu matahari dan satu bulan. Semenjak itu, dunia menjadi damai."
Itu adalah sebuah cerita yang diceritakan Ibu Suri pada salah seorang pengikut sekaligus keponakannya, Yoon Dae Hyeong. Ibu suri adalah Ibu dari Raja Seong Jo, Raja saat itu dan merupakan Raja fiksi Joseon.
"Yang Mulia sangat menyukai Pangeran Uiseong." ujar Ibu Suri. "Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita hanya akan duduk diam dan menunggu pehlawan itu datang?"
"Hamba tidak mengerti maksud Yang Mulia." ujar Dae Hyeong.
"Hanya ada satu matahari." lanjut Ibu Suri. "Dan hanya ada satu tahta. Kau harus menjadi pahlawan itu. Pangeran Uiseong adalah pemimpin fraksi yang kuat. Keberadaannya mengancam tahta Yang Mulia. Jadi kau harus menghabisinya."
Malam itu, sekelompok penyelundup suruhan Dae Hyeong mengendap-endap masuk ke halaman rumah Uiseong. Para penyelundup itu menempelkan jimat dan mengubur sesuatu di tanah. Kelihatannya mereka memiliki maksud tertentu, yakni menfitnah seseorang atas kejahatan yang hendak mereka lakukan.
Ketika seorang penyelundup masuk ke rumah, seorang pria mengarahkan pedang ke lehernya. Pria tersebut tidak lain adalah Pangeran Uiseong, adik dari Raja Seong Jo.
"Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Uiseong.
Si penjahat sengaja menjatuhkan senjatanya untuk mengalihkan perhatian Uiseong, kemudian langsung menyerangnya.
Terjadi perkelahian singkat.
Si penyelundup kemudian melemparkan panah beracun ke lengan Uiseong.
Di saat yang sama di tempat lain, seorang peramal terbangun dari tidurnya dengan terkejut.
Shaman sebenarnya adalah dukun/peramal/ahli roh. Namun aku agak tidak suka menyebut dukun. Jadi disini, aku akan memanggil mereka dengan sebutan 'peramal' saja.
"Ada aura pembunuh." ujarnya, hendak bangkit.
Namun temannya, Jang Nok Young, melarang. "Walaupun begitu, kau tidak bisa melakukan apa-apa."
"Aku tetap harus melihat." bantah wanita itu. "Orang itu... orang itu dalam bahaya."
"Ari!" seru temannya cemas.
Ari berlari dengan cemas dan takut. Nok Young berusaha mengejar dan melarangnya pergi, namun Ari tetap berlari dengan cepat.
Mendadak Ari berhenti berlari karena merasakan sesuatu. Ia menatap ke bulan yang mendadak menghilang dibalik awan dan muncul lagi dengan terang.
Di sisi lain, Uiseong sedang bertarung habis-habisan melawan para pembunuh. Namun sayang ia kalah jumlah.
Ketika seorang pembunuh mengangkat pedangnya ke arah Uiseong, mendadak seseorang datang.
"Hentikan!" seru pria itu.
Uiseong mendongak dan melihat Dae Hyeong berdiri di hadapannya.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Pangeran Uiseong." kata Dae Hyeong, tersenyum licik.
"Dulu kau sering mengunjungi rumahku." kata Uiseong. "Sebelumnya kau ingin memperalatku sebagai pemimpin untuk memperoleh kekuasaan. Kelihatannya sekarang kau sudah mengubah pikiranmu. Atau kau sudah menemukan orang lain?"
"Benar, aku sudah menemukan orang lain." ujar Dae Hyeong. "Suatu saat nanti, aku akan menjadi tangan kanan Yang Mulia."
"Yang Mulia tidak akan tertipu oleh pengkhianat sepertimu!" seru Uiseong marah. "Kita lihat saja apakah Yang Mulia akan percaya padamu!"
"Tapi sayang sekali kau tidak akan bisa bertemu Yang Mulia lagi." Dae Hyeong berkata seraya tersenyum kejam.
Di tempat lain, seorang pria tewas terbunuh. Ia mati seakan-akan gantung diri. Di atas mejanya, si pembunuh meninggalkan sebuah surat. Pria itu tidak lain adalah sahabat Uiseong.
"Ini adalah perintah ibu suri." ujar Dae Hyeong.
Dae Hyeong membunuh Uiseong.
Di balik dinding pagar, Ari melihat semua kejahatan itu.
Bayangan Ari terpantul di pedang Dae Hyeong.
"Kejar dia!" perintah Dae Hyeong pada anak buahnya.
Ari berlari melewati hutan, berusaha kabur dari kejaran para penyelundup. Namun sayang ia menemui jalan buntu. Di depannya adalah jurang.
Para penyelundup semakin mendekat. Ari semakin terpojok ke pinggir jurang. Tanpa sengaja, kaki Ari terpeleset dan ia jatuh ke jurang.
Para penyelundup memutar untuk turun ke jurang. Seorang penyelundup menemukan pita milik Ari.
"Ini adalah milik peramal di balai samawi." ujar penyelundup, mengamati pita itu. "Jika ia masih hidup, bunuh dia. Jika ia mati, temukan mayatnya!"
Di balai Samawi, Ketua peramal mengetahui kalau Ari menghilang dan menanyakan keberadaannya.
"Dimana Ari?" tanyanya pada Nok Young.
Nok Young menjawab ragu, "Itu..."
Dae Hyeong menyerahkan pita milik Ari pada Ibu Suri.
Dengan mudah, ibu suri bisa menebak bahwa pita itu adalah milik Ari.
Ari memiliki kemampuan luar biasa sebagai peramal dan dicalonkan menjadi pemimpin balai samawi berikutnya.
"Percintaan antara peramal dan keluarga kerajaan..." gumam Ibu Suri, tertawa merendahkan. "Kelihatannya Dewa sedang membantu kita."
"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" tanya Dae Hyeong.
"Anak itu... Ari... Dulu adalah pelayan di rumah Pangeran Uiseong." ujar Ibu Suri. "Mereka berdua terlibat percintaan. Aku yakin orang-orang di rumah itu tahu."
"Bukankah itu lebih berbahaya?" tanya Dae Hyeong.
"Kenapa?"
"Seorang gadis rela mati demi cintanya." ujar Dae Hyeong. "Itulah yang disebut cinta oleh para wanita. Dia sudah melihat semua kejadian itu. Bukan hal mustahil jika ia berani mempertaruhkan hidupnya dengan datang ke istana. Jika kita tidak segera menghabisinya..."
"Gadis itu..." potong Ibu Suri. "Berharap bahwa pria yang ia cintai memperoleh tahta. Agar harapannya bisa terpenuhi, ia menggunakan jimat."
"Tapi kita tidak punya bukti." ujar Dae Hyeong.
"Ketua balai samawi adalah orang kepercayaanku." kata Ibu Suri. "Tidak ada masalah, bukan? Segera bertindak!"
Pengawal kerajaan akhirnya mengetahui kalau dua orang anggota kerajaan tewas malam itu.
Pengawal menyerahkan surat teman Uiseong pada Raja Seong Jo.
Dalam surat tersebut dikatakan kalau teman Uiseong mati bunuh diri untuk menebus kejahatannya karena sudah mencoba memberontak. Malam itu, Uiseong dan temannya dinyatakan sebagai pengkhianat.
Raja Seong Jo menunduk sedih.
Tidak lama kemudian, Ketua Balai Samawi masuk ke ruangan bersama dengan Dae Hyeong. Raja Seong Jo meminta penjelasan mengenai jimat yang ditemukannya di rumah Uiseong.
Ketua Balai Samawi melirik sekilas ke arah Dae Seong, kemudian menjawab, "Jimat itu akan menguatkan kekuasaan sang matahari."
"Benarkah?" tanya Raja Seong Jo.
"Hamba tidak berani berkata bohong." jawab Ketua Balai Samawi.
"Lalu siapa yang memiliki jimat ini?" tanya Pengawal.
"Jimat itu milik Ari, seorang peramal dari Balai Samawi." Ketua Balai Samawi menjawab tanpa ragu.
Raja kemudian memerintahkan pengawalnya untuk mencari Ari.
Siang itu, sebuah rombongan kecil melewati hutan.
Pelayan wanita dari rombongan itu berteriak histeris ketika melihat Ari terjatuh di tanah dalam keadaan sekarat.
"Ada apa?" tanya Nyonya dari dalam tandu. "Kenapa kau berteriak?"
Nyonya itu adalah Shin Jung Kyung.
Nyonya Shin keluar dari dalam tandu. Saat itu ia sedang mengandung.
Nyonya Shin terkejut melihat Ari dan langsung menolongnya tanpa berpikir panjang.
Tandu hendak masuk melewati gerbang Ibu Kota, namun mendadak rombongan mereka dihentikan oleh penjaga.
"Kenapa kau menghentikan kami?" tanya pelayan.
"Kami sedang mencari buronan." jawab penjaga.
Pelayan melihat lukisan buronan yang dimaksud. Buronan tersebut tidak lain adalah Ari, wanita yang tadi ditolong oleh majikannya.
Dengan paksa, si penjaga membuka jendela tandu dan melihat Nyonya Shinyang sedang hamil. Diam-diam, Nyonya Shin menyembunyikan Ari dibalik gaunnya.
"Aku baru saja kembali setelah berdoa untuk janinku." ujar Nyonya Shin. "Aku sedang kelelahan. Jika kau mencurigai sesuatu, tolong ikut saja aku ke rumah."
Penjaga diam sejenak. "Maafkan kelancanganku." ujarnya seraya menutup jendela.
Untuk sementara, Ari selamat.
Tandu berjalan pergi. Di tanah, terdapat ceceran darah. Darah itu berasal dari dalam tandu.
"Berhenti!" seru penjaga, menghentikan tandu Nyonya Shin. "Tolong keluar dari tandu."
Jendela dibuka dan si penjaga melihat gaun Nyonya Shin dipenuhi darah. Si nyonya merintih kesakitan.
Pelayan berteriak panik. "Darah! Darah!"
Pelayan memohon pada penjaga untuk melepaskan mereka karena majikannya berada dalam bahaya.
"Bayi ini adalah anggota kedutaan!" seru Pelayan. "Jika terjadi sesuatu, apa kau mau bertanggung jawab?!"
Penjaga akhirnya membiarkan mereka lewat.
Ari berterima kasih pada Nyonya Shin karena telah menolongnya.
"Bukan aku, tapi bayikulah yang menyelamatkanmu." ujar Nyonya Shin ramah.
"Bayimu adalah perempuan yang sangat cantik seperti bulan." ujar Ari.
"Jadi bayi ini perempuan?"
"Benar." jawab Ari.
"Jadi kau adalah seorang peramal." kata Nyonya Shin. "Aku ingin bayiku memperoleh sedikit energi spiritual. Ini benar-benar kebetulan."
"Ya, ini adalah takdirnya untuk menjadi seseorang yang bermartabat." ujar Ari.
Ari memperoleh kilasan-kilasan bayangan mengenai masa depan si bayi. Dimulai dengan pertemuan dengan seorang Putra Mahkota, menjadi Putri Mahkota, dan berakhir dengan tumpukan tanah seperti kuburan.
Ari sadar bahwa nasib bayi itu akan buruk.
"Nyonya, walaupun aku mati, aku akan melindungi putrimu." janji Ari pada Nyonya Shin .
Nyonya Shin tersenyum dan menunduk berterima kasih.
Mereka berpisah.
Tidak lama berjalan, Ari dikepung dan berhasil ditangkap.
Ari disiksa habis-habisan.
Nok Young, menatapnya takut dan kasihan, namun tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong. Ia menatap Ketua Balai Samawi, namun si Ketua membuang muka.
Dae Hyeong menanyakan mengenai jimat yang ditemukan di kediaman Uiseong. Namun Ari bersikeras bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai jimat tersebut.
"Ini adalah bukti kerjasamamu dengan para pengkhianat itu!" seru Dae Hyeong. "Kau masih berani menyangkal!"
Mendadak Ari berubah marah.
"Pengkhianat, katamu?" tanya Ari. "Dan itu adalah bukti yang tertinggal? Kau pikir akulah satu-satunya orang yang menyaksikan semua kejadian itu, bukan? Kau pikir semua akan berakhir begitu kau melenyapkan aku, bukan? Kau salah besar! Bulan sedang melihatmu! Darah orang itu bukanlah satu-satunya yang mengenai pedangmu malam itu! Malam itu juga ada cahaya bulan! Tunggu dan lihat saja! Suatu saat nanti, semua kejahatanmu akan terbongkar! Suatu hari nanti, cahaya bulan akan mengakhiri hidupmu yang menyedihkan!"
Setelah disiksa habis-habisan, Ari dilempar ke dalam penjara.
Nok Young mengunjunginya.
Disanalah Ari meminta sahabatnya itu untuk melindunyi bayi Nyonya Shin.
"Walaupun berada dekat dengan matahari akan mendatangkan bencana, namun takdirnya adalah berada disisi matahari dan melindunginya." kata Ari. "Tolong pastikan saja bahwa anak itu selamat. Lindungi dia demi aku."
"Siapa anak yang harus kulindungi?" tanya Nok Young.
Belum sempat Ari menjawab, penjaga penjara sudah menarik Nok Young pergi.
Keesokkan harinya, Ari akan dieksekusi hukuman mati.
Sebelum mati, Ari melihat dua matahari dan satu bulan.
"Kalian bertiga... jaga diri kalian." ujar Ari dalam hati.
Ari tewas.
Disaat yang sama di tempat yang berbeda, seorang bayi perempuan lahir.
Bayi itu diberi nama Heo Yeon Woo.
Beberapa tahun kemudian.
Istana sedang disibukkan oleh persiapan pesta perayaan.
Para pelayan mendadak panik karena banyak buah yang menghilang secara tiba-tiba.
Disisi lain, seorang kasim datang untuk menjemput Putra Mahkota agar datang ke pesta perayaan. Betapa kagetnya kasim melihat kamar Putra Mahkota kosong.
Saat itu, sang Putra Mahkota sepertinya sedang merencanakan kenakalan yang akan dilakukannya. Kelihatannya berniat kabur dari istana.
Tanpa disangka-sangka, Yeon Woo dan ibunya juga akan datang ke pesta perayaan di istana untuk melihat kakak Yeon Woo, Yeom.
Rupanya hari itu akan diadakan penanugerahan untuk juara ujian negara. Para pelajar dari berbagai pelosok datang untuk menyaksikan pemberian penghargaan tersebut, termasuk Heo Yeom dan Kim Je Woon.
Yeom adalah kakak kandung Yeon Woo, sementara Woon (bersama dengan Pangeran Yang Myeong) adalah murid dari ayah Yeon Woo.
Yeom dinobatkan sebagai juara nomor satu dalam bidang akademik sementara Woon dinobatkan menjadi juara nomor satu dalam bidang beladiri.
Raja Seong Jo datang ke tempat diadakan penganugerahan untuk juara ujian negara. Semua orang bersujud memberi hormat padanya.
Mendadak seekor kupu-kupu kuning terbang dan hinggap di bahu Yeon Woo, kemudian terbang lagi.
Hwon, si Putra Mahkota nakal, keluar dari ruangan. Panas matahari terasa menyengat.
"Kulitku tidak boleh terbakar." ujarnya seraya membuka sebuah payung untuk melindungi kulitnya dari sengatan matahari.
Ibu Yeon Woo menatap putranya dengan bangga. Ia juga sangat senang melihat wajah suaminya yang berseri. Karena keasikan menonton, ia sampai tidak sadar kalau Yeon Woo menghilang.
Yeon Woo berjalan mengikuti kupu-kupu kuning.
Di lain pihak, Hwon menaiki tangga, hendak melompat keluar. Tanpa sengaja ia menoleh dan melihat Yeon Woo.
Hwon terpana.
Kupu-kupu kuning menghantarkan Yeon Woo pada Hwon.
Hwon berusaha terdasar dari lamunannya. Namun ia malah terpeleset dari tangga dan terjatuh menimpa Yeon Woo. Payung merah Hwon melayang dan jatuh tepat di atas mereka.
Payung itu kemudian terbang tertiup angin.
Hwon dan Yeon Woo kaget karena mereka terjatuh bersama dalam posisi yang... hmm... dewasa, mungkin. Setelah sadar dari rasa terkejut, mereka buru-buru bangkit.
"Melihat pakaianmu, sepertinya kau bukan pelayan istana." kata Hwon dengan nada sok berkuasa. "Kenapa kau ada diistana?"
"Kenapa kau memanjat dinding?" Yeon Woo balik bertanya.
"Akulah yang boleh bertanya, jadi cepat jawab!" seru Hwon. "Apa kau tidak tahu kalau melanggar aturan istana adalah kejahatan besar?"
Yeon Woo menatap Hwon dengan kesal.
"Aku kemari untuk menonton kakakku menerima penganugerahan pelajar akademik terbaik." jawab Yeon Woo.
"Kau pikir aku akan percaya?"
"Percaya atau tidak itu terserah padamu." kata Yeon Woo. "Tapi aku tidak bisa tinggal diam melihat seseorang berusaha mencuri sesuatu dari istana. Aku akan memanggil penjaga sekarang."
Yeon Woo beranjak pergi, namun Hwon menarik lengannya.
"Kau bilang aku ini pencuri?" tanya Hwon.
Yeon Woo menunjuk tas yang dijatuhkan Hwon di tanah.
"Aku... aku sedang mencari jalan keluar." ujar Hwon, mencari alasan. "Aku juga datang untuk menyaksikan penganugerahan militer kakakku."
Hwon meraih tasnya, namun malang barang-barang di dalam tasnya terjatuh. Isinya adalah uang dan perhiasan.
Hwon berusaha memberi penjelasan lagi, tapi Yeon Woo malah berteriak-teriak memanggil penjaga.
Hwon menutup mulut Yeon Woo dan menariknya pergi.
Hwon dan Yeon Woo berdebat mulut sejenak mengenai umur. Hwon berhasil menjebak Yeon Woo dan mengetahui kalau umur Yeon Woo adalah 13 tahun. Hwon lebih tua 2 tahun dari Yeon Woo.
Yeon Woo hendak pergi memanggil penjaga, namun lagi-lagi Hwon menariknya.
"Sudah kubilang aku datang untuk menghadiri penganugerahan militer kakakku." kata Hwon berbohong.
"Orang yang mendapat penganugeran militer itu adalah sahabat kakaku." kata Yeon Woo. "Aku tidak pernah mendengar kalau dia punya adik."
"Be... benarkah? Benarkah dia tidak punya adik?" tanya Hwon terbata.
Hwon akhirnya bercerita alasannya memanjat dinding.
"Aku ingin mencari kakakku." ujar Hwon.
Tentu saja Yeon Woo tidak semudah itu percaya.
"Aku dan kakakku memiliki ayah yang sama, namun ibu yang berbeda." kata Hwon bercerita. "Namun ia selalu memperlakukan aku dengan baik. Walaupun ia pandai dalam segi akademik dan militer, tapi ia tidak bisa berpartisipasi dalam ujian negara. Walaupun ia memiliki potensi, ia tidak bisa menjadi pejabat negara. Walaupun ia menghormati dan menyayangi ayah, tapi ia tidak bisa menerima kasih sayang ayah. Walaupun ia menerima cinta dari banyak orang, tapi ia tidak bisa muncul di hadapan banyak orang."
"Kakak hidup seperti itu karena aku." ujar Hwon sedih. "Dia mungkin takut disalahkan oleh ayah, jadi ia pergi dan tidak menemuiku lagi. Oleh karena itu, aku ingin pergi dan mencarinya. Kau mengerti sekarang?"
"Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri?" tanya Yeon Woo.
"Apa?"
"Kau menjadi anak emas atau kakakmu yang tidak diakui, bukanlah sesuatu yang bisa kalian pilih." kata Yeon Woo. "Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri? Jika kakakmu memang benar-benar menyayangimu, ia pasti tidak akan menyalahkanmu. Tapi, bukankah biasanya hal itu diputuskan oleh Yang Mulia Raja?"
Yeon Woo malah asik mengoceh sendiri mengenai aturan-aturan negara yang tidak ia setujui.
Yeon Woo segera menutup mulutnya ketika sadar bahwa ucapan kelewatan.
Hwon mengancam akan melapor pada penjaga. Yeon Woo memohon agar Hwon tidak melakukannya.
Yeon Woo juga tetap tidak percaya kalau Hwon bukan pencuri.
"Apa kau tidak tahu kalau aku adalah..." Hwon ragu sejenak. Ia tidak kuasa menyebut kata itu. Kata 'Putra Mahkota' terlalu berat untuk diucapkan. "Apa kau tidak tahu kalau aku adalah... pejabat Joseon?"
Hwon mengernyit, tahu bahwa kali ini Yeon Woo akan tambah tidak percaya.
Tapi Yeon Woo malah percaya. Ia dan Hwon berjalan bersama kembali ke dalam halaman istana.
Nyonya Shin sangat cemas mencari-cari putrinya. Ia bahkan sampai melapor ke penjaga.
Diam-diam, Hwon berbisik pada penjaga agar tidak mengungkapkan identitasnya pada Yeon Woo.
"Aku sudah mengakui kejahatanku pada penjaga." Hwon berbohong pada Yeon Woo. Ia kemudian berpaling pada penjaga. "Aku mencuri beberapa uang dan perhiasan. Aku akan ikut denganmu."
Yeon Woo hanya diam, memandang kepergian Hwon.
Yeon Woo dan ibunya hendak pulang.
Mendadak, seorang pelayan istana keluar dan menyerahkan sesuatu pada Yeon Woo. Itu adalah sebuah surat dari Hwon. Selain menyerahkan surat itu, ia juga berpesan sesuatu untuk Yeon Woo, "Berhati-hatilah jika berjalan pada malam hari."
Yeon Woo tersenyum. "Jika ia berkata begitu, seharusnya ia memang bukan orang jahat."
Raja Seong Jo memarahi Hwon karena mencoba melarikan diri dari istana.
"Aku hanya ingin menemui Kak Yang Myeong untuk membicarakan sebuah buku." jawab Hwon datar.
"Kalau kau ingin menanyakan masalah buku, tanyakan saja pada gurumu!" bentak Raja.
"Maaf, aku tidak bisa belajar pada mereka." bantah Hwon. "Aku hanya bisa belajar dari Kakak."
"Jadi karena itu kau ingin melarikan diri dari istana?!" bentak Raja marah. Ia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga Hwon lebih ketat.
Ibu Suri dan Dae Hyeong membahas mengenai calon mentor yang akan mendidik Hwon.
"Aku sangat khawatir." kata Ibu Suri. "Ini adalah posisi yang sangat penting agar penerusku bisa dididik."
"Aku akan menyiapkan segalanya." ujar Dae Hyeong.
"Putra Mahkota akan menjadi Raja masa depan." ujar Ibu Suri. "Demi masa depannya sendiri, masih banyak hal yang harus kita lakukan."
Ratu So Hye memohon pada Raja agar mengizinkan Yang Myeong keluar masuk istana dengan bebas.
"Pangeran Yang Myeng belum menikah, namun Yang Mulia sudah menyuruhnya keluar istana." kata Ratu. "Jika Pangeran Yang Myeong tidak kembali, aku takut Putra Mahkota akan..."
Raja memotong perkataan Ratu dengan marah. Raja menolak mentah-mentah usulan Ratu.
Ratu keluar dan mengatakan pada Ibu Yang Myeong bahwa Raja menolak permintaannya.
Setelah melakukan perjalanan, Yang Myeong kembali ke ibu kota. Ia pergi ke pasar menjual burung tangkapannya.
"Aku ingin membelikan hadiah untuk teman-temanku dengan uang itu." kata Yang Myeong pada seorang pria.
Tidak jauh dari sana, Yang Myeong melihat sebuah antrian panjang. Orang-orang itu mengantri untuk mendapatkan batu ajaib yang dipercaya bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Si penjual mengatakan bahwa batu itu adalah batu yang diberi kekuatan spiritual oleh seorang peramal berusia 8 tahun dan memiliki kekuatan spiritual seperti Jang Nok Yeong.
Yang Myeong tersenyum. "Kebetulan sekali aku sedang pusing memikirkan hadiah apa yang bisa kuberikan untuk teman-temanku."
Dengan bersemangat, Yang Myeong berebut batu itu bersama orang-orang lain.
Dari kejauhan, Jang Nok Yeong mengamati keramaian itu. Rupanya si penjual berusaha menipu orang-orang dengan mengatasnamakan peramal.
Disanalah Nok Yeong melihat Yang Myeong untuk pertama kalinya.
Ia teringat perkataan Ari. "Joseon memiliki dua matahari."
Yang Myeong mengantri untuk mendapatkan batu dari peramal cilik.
Yang Myeong melihat bibir si peramal. Bibirnya kering dan ia kelihatan sengsara. Ia sadar kalau anak itu sudah menjadi korban eksploitasi anak-anak dan diperalat untuk menipu.
"Aku lapar." bisik anak itu ada si pria. Namun pria itu malah mencobit peramal cilik.
Yang Myeong meledak marah. "Tidakkah kau mendengar kalau ia kelaparan?!" serunya. Ia juga melihat kalau seluruh tubuh anak itu dipenuhi luka memar akibat siksaan.
Penipuan itu berhasil dibongkar oleh Yang Myeong. Para pelanggan mengamuk.
Di antara kericuhan itu, Yang Myeong membopong dan hendak membawa si anak ke tabib.
Di tengah jalan menuju tabib, Yang Myeong dikepung oleh sekelompok orang.
Seorang pria merebut si anak dari Yang Myeong dengan paksa, namun Nok Yeong menghadang jalannya. Nok Yeong membawa banyak penjaga bersamanya.
Para pria hendak menghajar Yang Myeong.
"Jika kau berani macam-macam padaku, kalian akan membayar akibatnya!" ancam Yang Myeong.
Para pria itu tidak peduli dan terus memukuli Yang Myeong.
"Guru beladiriku adalah juara ujian negara." kata Yang Myeong.
"Kalau begitu, ayahku adalah Raja!" seru pria itu seraya memukul Yang Myeong lagi.
Yang Myeong jatuh terjerembab ke tanah tanpa perlawanan.
Ia menarik napas dalam dan bangkit dengan cepat. Sudah habis kesabarannya.
"Aku kenal siapa Raja." katanya. "Dan ia tidak pernah mengatakan kalau ia memiliki anak sepertimu!"
Yang Myeong menghajar para pria itu dan berhasil mengalahkan mereka dengan mudah.
Yang Myeong menatap istana dari kejauhan.
"Yang Mulia, pengabdi setiamu sudah kembali." ujarnya dalam hati. "Maafkan aku karena belum sempat memberi hormat. Putra Mahkota, apa saja yang kau lakukan selama ini?"
Kasim, para penjaga dan para dayang mengawal Hwon dengan ketat kemanapun Hwon pergi.
"Aku tidak akan kabur." kata Hwon kesal pada mereka. "Berikan aku ketenangan."
Mendadak, kelopak-kelopak bunga berguguran. Hwon teringat pada pertemuannya dengan Yeon Woo.
Hwon tersenyum. "Jika kau tahu kalau aku Putra Mahkota, kau pasti akan lebih mengomel lagi." gumamnya. "Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi."
Hwon terkejut melihat payung merahnya melayang-layang di udara.
Di sisi lain, Yeon Woo membaca surat dari Hwon.
Hwon menulis teka-teki yang sulit ditebak oleh Hwon. Ia kemudian bertanya pada Seol, pelayannya. Namun tentu saja Seol tidak mengerti.
Yang Myeong berjalan perlahan, kemudian memanjat dinding. Ia tersenyum seraya menatap sebuah rumah.
Dari dalam rumah itu, Yeon Woo berjalan keluar.
Yang Myeong terkejut.
Yeon Woo masih berkutat memikirkan teka-teki dari Hwon.
Yang Myeong memperhatikannya dari jauh.
Yeon Woo berpikir dan terus berpikir. Akhirnya ia berhasil mengetahui bahwa jawaban teka-teki dari Hwon adalah matahari. Yeon Woo tahu dengan pasti apa arti matahari. Matahari mengisyaratkan Raja/Putra Mahkota.
Yeon Woo terduduk di tanah dengan shock.
Hwon tersenyum melihat payungnya. "Apakah ini artinya... aku bisa bertemu denganmu lagi?" pikirnya dalam hati.
"Putra Mahkota, apa kau tahu?" pikir Yeon Woo dalam hati. "Bagiku, ini adalah sebuah keberuntungan."
Yang Myeong menatap Yeon Woo. "Aku benar-benar senang bisa melihatmu lagi, Heo Yeon Woo." katanya dalam hati.
106 of 152